FAJAR.CO.ID – Belakangan, polemik uang korupsi pejabat untuk membiayai klub-klub Tanah Air mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Iman Ariyadi pada Sabtu (23/9/2017).
Iman ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap rekomendasi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan Transmart di kawasan Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC).
Dalam perkara itu, KPK mengamankan uang tunai Rp 1,152 miliar. Uang tersebut dibuat seolah-olah diberikan untuk Cilegon United. Klub sepak bola yang kini berlaga di babak 16 besar Liga 2 itu merupakan binaan Iman. KIEC menjadi salah satu sponsor Cilegon United yang mendanai kebutuhan operasional tim.
Terkait hal ini, banyak pihak kemudian yang mewanti-wanti posisi pejabat daerah lain yang juga menangani klub. Kuat dugaan, bukan cuma Iman pejabat daerah yang memanfaatkan jabatan untuk menyelewengkan anggaran demi klub binaan.
Merespons hal ini, Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, mengatakan, regulasi FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional) dan Statuta PSSI secara spesifik tidak melarang pejabat atau penyelenggara negara dalam kepengurusan klub profesional. “Sepak bola dan PSSI pada prinsipnya tidak bisa menutup diri,” kata Joko.
Menurut dia, yang bisa melarang para pejabat negara melakukan rangkap jabatan menjadi pengurus klub profesional, adalah instansi mereka sendiri. Dia lantas mencontohkan Undang Undang Sistem Keolahargaan Nasional No. 3 Tahun 2005 yang melaran pejabat publik merangkap jabatan Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Nah, terkait temuan KPK tentang adanya pencucian uang hasil korupsi di sepak bola nasional, Joko secara tegas mengatakan PSSI akan melakukan pencegahan hal itu. Pihaknya juga melarang keras uang korupsi dipakai membiayai klub. “PSSI tidak membenarkan adanya uang dari hasil kriminal yang bisa berputar di sepak bola Tanah Air,” tegasnya.
Berdasar data SaveOurSoccer (SOS), ada 48 pejabat publik yang menjadi petinggi di klub sepak bola. Ada yang menjadi ketua umum, pembina, direktur, maupun jabatan lain.
Dari 48 nama pejabat, beberapa nama itu di antaranya Bupati Malang, Rendra Kresna, menjadi Ketua Umum Persekam; Wali kota Jayapura, Benhur Tommy Mano, menjadi Ketua Umum Persipura; Anggota BPK, Achsanul Qosasi, menjadi Presiden Klub Madura United; Bupati Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex Noerdin, menjadi Presiden klub Sriwijaya FC.
Bupati Lamongan, Fadeli, menjadi Ketua umum Persela; Bupati Tangerang, A. Zaki Iskandar, menjadi Ketua Umum Persita; Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, menjadi Ketua Umum Perserang; Wali kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, menjadi Ketua Umum Persis; sampai Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasa, menjadi Ketua Umum Mojokerto Putra.
Koordinator SOS, Akmal Marahali, mengungkapkan bahwa, ada banyak faktor yang mengakibatkan fenomena masifnya pejabat negara menjadi pengurus klub sepak bola profesional tanah air. “Karena klub sepak bola masih dijadikan kendaraan politik untuk mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan. Kasus di Cilegon United adalah contohnya,” kata Akmal.
Meski tidak ada larangan penyelenggara negara menjadi pengurus klub sepak bola nasional, fenomena tersebut tentu berpotensi membuka ruang terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest).
Pengamat sepak bola nasional, Anton Sanjoyo, menyatakan, kepentingan tersebut sangat mungkin terjadi bila klub tidak dikelola secara profesional. ”Apalagi di daerah, mekanisme hibah masih berlaku,” ujar Joy -sapaan Anton Sanjoyo- saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (24/9/2017).
Dia mengungkapkan, saat ini tidak banyak klub sepak bola yang me-manage keuangan mereka secara profesional. Di Liga 1, misalnya, sejauh ini baru manajemen Persib Bandung yang benar-benar sudah profesional. ”Tidak lebih dari lima yang profesional di Liga 1,” imbuhnya.
Joy menjelaskan, parameter manajemen klub profesional itu bisa dilihat dari cara mereka mengelola pemasukan dan pengeluaran tim. Misalnya, manajemen mengurus pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise dengan baik untuk membayar gaji pemain serta ofisial.
(tyo/ben/c5/ang/fajar)