Carut Marut PP 18/2016 dan PP 11/2017

  • Bagikan

 

Oleh: Kardiansyah Afkar

Persinggungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain sudah lazim terjadi dalam sistem hukum Indonesia. Salah satunya dapat kita lihat pada Peraturan  Pemerintah (PP)  Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dengan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Adapun persinggungan dari kedua PP tersebut ialah mengenai ketentuan pengangkatan/pemberhentian Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota.  Pada ketentuan Pasal 31 ayat (2) PP 18 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh sekretaris DPRD kabupaten/kota yang dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan secara administratif bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris Daerah kabupaten/kota.”

Kemudian, mekanisme pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam Pasal 31 ayat (3) PP Nomor 18 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa “Sekretaris DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/wali kota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan fraksi.”

Ketentuan ini bertentangan dengan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pada Pasal 127 ayat (4) PP 11 Tahun 2017 menyebutkan bahwa; “khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, sebelum ditetapkan oleh PPK dikonsultasikan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Pertentangan keduanya tampak jelas dimana ketentuan dalam PP 18 Tahun 2016 secara tegas dan jelas menyebutkan bahwa pengangkatan/pemberhentian Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota harus “atas persetujuan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota”, sedangkan dalam Pasal 127 ayat (4) PP 11 Tahun 2017, hanya “dikonsultasikan dengan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota”.

Kedua regulasi ini tentunya menimbulkan konflik antara DPRD dan Bupati/Wali Kota karena tidak jelasnya ketentuan mana yang seharusnya dijadikan sebagai dasar hukum. Untuk menghindari terjadinya konflik tersebut maka dibutuhkan suatu langkah hukum konkrit untuk menyelesaikannya.

Memperjelas Kelamin Sekretaris DPRD

Berdasarkan kasus a quo maka salah satu cara untuk menyelesaikan pertentangan antara PP Nomor 18 Tahun 2016 dan PP Nomor 11 Tahun 2017, yaitu dengan mempertegas status kedudukan hukumnya. Apakah Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota adalah ranah perangkat daerah atau Aparatur Sipil Negara (ASN)?  Hal ini sangat penting karena mengingat keduanya merupakan turunan dari undang-undang yang bersifat lex specialis, yang mana PP Nomor 18 tahun 2016  adalah turunan dari UU Nomor 23 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU Nomor  9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

Sedangkan, PP Nomor 11 tahun 2017 merupakan amanat UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jika hanya merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut maka sangat sulit untuk menentukan jenis kelamin Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota, apakah berjenis kelamin perangkat daerah ataukah aparatur sipil negara.

Untuk memperjelas kelamin Sekretaris DPRD kabupaten/Kota tersebut, maka penulis berpendapat bahwa ada dua metode yang dapat digunakan yaitu; Pertama, pendekatan  keuangan (anggaran) yaitu melihat sumber keuangan (anggaran) yang digunakan oleh Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota. Jika pendanaan (anggaran) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota bersumber langsung dari APBN, maka merupakan ranah Aparatur Sipil Negara.

Namun, Apabila sumber keuangannya berasal dari APBD, maka Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota merupakan domain Pemerintah Daerah (perangkat daerah). Kedua, pendekatan kewenangan maksudnya adalah melihat sumber kewenangan yang diberikan oleh kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Apakah kewenangannya bersifat atribusi, delegasi dan tugas pembantuan. Apabila salah satu dari kedua peraturan perundang-undangan itu memberikan kewenangan atribusi kepada Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota, maka ketentuan tersebutlah yang sebaiknya dijadikan sebagai dasar hukum pengangkatan Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota.

Lex Specialis versus Lex Specialis

Apabila pendekatan tersebut diatas sama-sama terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut, maka alternatif lain yang dapat ditempuh ialah pendekatan secara doktrin hukum. Dalam teori ilmu hukum dikenal asas lex specialis sistematis, doktrin ini dapat diterapkan manakala terjadi suatu pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis.

Menurut Remmelink adapun kriteria dari asas lex spesialis sistematis yaitu; pertama, objek dari definisi umum diatur lebih lengkap dalam kerangka ketentuan khusus. Kedua, memiliki kriteria lebih rinci dari kejahatan dalam batas-batas definisi umum. (Eddy O.S Hiariej; 2016; 416-417). Maka untuk menilai suatu peraturan dapat dikatagorikan sebagai lex specialis sistematis maka dapat dilihat dari segi muatannya yaitu; 1. materil khususnya, 2. formilnya khusus, dan. 3. adresat (subjek) khusus.

Selain asas lex specialis sistematis, doktrin hukum lain yang dapat digunakan adalah lex consumen derogat legi consumte. Secara harfiah asas ini berarti ketentuan yang satu memakan ketentuan yang lain. (Eddy O.S Hiariej; 2016; 417). Doktrin ini lebih menekankan pada unsur-unsur yang lebih dominan dari materi muatan suatu undang-undang.

Dalam artian bahwa jika terjadi suatu persinggungan antara peraturan perundang-undangan yang sifatnya lex specialis, dan untuk menentukan aturan mana yang sebaiknya diterapakan maka dapat dilihat dari unsur-unsur yang lebih dominan yang terkandung dalam suatu undang-undang. Langkah hukum konkrit lain yang dapat ditempuh  yaitu melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung.

Merujuk pada penjelasan yang telah diuraikan diatas tersebut, maka penulis berpandangan bahwa secara teoritis maupun yuridis Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota merupakan bagian dari rezim Pemerintah Daaerah (perangkat daerah), sehingga mekanisme pengangkatan/pemberhentiannya sebaiknya mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah bukan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Aparatur Sipil Negara. (Penulis adalah Pengamat Hukum Tata Negara, Alumni Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada)

 

  • Bagikan