Akan menjadi sangat ideal jika agenda politik pemilihan umum (pemilu) itu dijadikan momentum pembelajaran bagi generasi muda menggunakan hak politiknya; yakni hak memilih pemimpin nasional dan daerah, serta hak memilih para wakil mereka di parlemen. Dalam konteks pembelajaran politik itu, generasi muda, terutama generasi Z, diajak untuk menyoal dan menilai kompetensi calon pemimpin dan calon anggota legislatif (caleg), rekam jejak, serta kepedulian calon pemimpin dan para caleg pada ragam masalah sosial dan ekonomi yang mengemuka.
Memilih calon pemimpin yang kompeten dan fokus mengabdi kepada bangsa-negara adalah kehendak semua orang. Maka, melalui sarana media sosial, beberapa kelompok masyarakat saat ini sudah dan mulai mengajak serta mendorong generasi muda untuk cerdas dan bijak dalam menilai calon-calon pemimpin yang sudah dimunculkan kekuatan-kekuatan politik. Agar penilaian orang muda objektif, tentu saja mereka patut diberikan informasi yang benar dan akurat.
Sayangnya, gema pembelajaran itu tak jarang tenggelam oleh gelombang berita bohong (hoaks) yang tentu saja bisa menyesatkan. Selain hoaks, semburan ujaran kebencian pun marak dialamatkan kepada para calon pemimpin. Masing-masing komunitas simpatisan saling melancarkan serangan untuk memperburuk citra para calon pemimpin.
Publik tahu bahwa saling serang antar-komunitas simpatisan seperti itu adalah pola lama yang dipraktikkan lagi untuk mewarnai rangkaian persiapan Pemilu 2024. Saling menyemburkan ujaran kebencian itu adalah benih-benih disharmoni dalam masyarakat.
Sebagai benih, disharmoni itu memang bukan masalah baru. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa disharmoni itu terbentuk dari perbedaan sikap politik dan pilihan kelompok-kelompok masyarakat pada agenda pemilu tahun-tahun terdahulu. Dengan begitu, tidak bijaksana jika disharmoni itu diwariskan kepada orang-orang muda, semisal generasi Z.
Siapa pun yang berkehendak baik pasti tidak ingin disharmoni itu berkepanjangan, karena semua orang pada dasarnya ingin hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Maka, dengan berbagai cara dan pendekatan, disharmoni itu harus diakhiri, cepat atau lambat.
Karena disharmoni itu tak jarang disulut oleh pilihan dan sikap politik, salah satu alternatif yang sangat layak untuk mereduksi keterbelahan itu adalah mengedepankan politik yang bermartabat. Secara khusus, politik bermartabat sangat penting untuk dikedepankan di tahun politik sekarang ini, ketika beberapa komunitas dalam masyarakat menjadi begitu sensitif berkait dengan isu atau figur calon presiden.
Sudah barang tentu semangat mengedepankan politik bermartabat itu harus terlebih dahulu ditunjukkan oleh para peserta kontestasi pemilihan pemimpin bersama kekuatan-kekuatan politik yang mendukungnya. Setiap calon pemimpin hendaknya fokus saja pada pemaparan program, dan tawaran-tawaran solusi atas ragam masalah sosial dan ekonomi yang menjadi keprihatinan masyarakat.
Dengan selalu fokus pada program dan tawaran solusi, calon pemimpin tak hanya berusaha meyakinkan, tetapi juga mencerdaskan calon pemilih. Lebih dari itu, mengajak masyarakat mencerna dan memahami program akan mempersempit ruang bagi siapa saja menyemburkan ujaran kebencian dan menebar hoaks. Ujaran kebencian dan hoaks itu menyesatkan pemahaman dan juga merugikan masyarakat. Lebih dari itu, ujaran kebencian dan hoaks pada dasarnya hanya mengalihkan perhatian publik pada esensi pemilihan untuk mendapatkan pemimpin yang kompeten dan mau menjadi abdi rakyat.
Kecenderungan itulah yang terlihat ketika masyarakat Indonesia sekarang ini diajak untuk mulai melakoni tahun politik menuju agenda Pemilu 2024. Alih-alih menghadirkan politik bermartabat bagi pembelajaran generasi muda, ruang publik hari-hari ini justru dijejali dengan ujaran kebencian dan hoaks. Emosi publik diaduk-aduk dengan ragam manuver.
Informasi yang tidak akurat dan menyesatkan ditebar. Setelah didahului dengan menebar tuduhan yang hanya berdasar asumsi, ada kelompok yang sudah memainkan lakon sebagai korban (playing victim) konspirasi politik. Bahkan, ada upaya untuk menimbulkan gaduh, antara lain dengan menyebarluaskan informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan gugatan terkait sistem pemilu yang isinya bakal mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Selain itu, masih digaungkan juga kecurigaan tentang masih adanya upaya menunda pemilu dari jadwal 2024.
Semudah dan sesederhana itukah proses mengubah sistem Pemilu 2024, ketika rangkaian jadwal penyelenggaraan pemilu sudah ditetapkan? Jangankan para hakim di MK, masyarakat awam pun tahu risiko mengubah sistem pemilu, terutama ketika partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 sudah resmi ditetapkan; dan, ketika parpol pun sudah mendaftarkan para calegnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Lalu, ketika semuanya sedang giat melakukan persiapan, dan juga figur Capres sudah diumumkan, siapa yang akan menunda jadwal Pemilu 2024, dan untuk alasan apa? Hanya ketika negara dalam keadaan darurat pemilu bisa ditunda, sesuai ketentuan UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Pasca-reformasi 1998, generasi orang tua sudah menimba banyak pengalaman dari sejumlah pemilu dengan segala macam dinamikanya. Rangkaian pengalaman itu hendaknya menjadi pelajaran berharga. Yang baik dipertahankan dan dilanjutkan, dan apa yang tidak baik hendaknya diakhiri.
Pemilu terdahulu masih menyisakan masalah berwujud disharmoni dalam masyarakat. Generasi orang tua harus berupaya mengakhiri disharmoni itu dengan menghadirkan politik yang bermartabat.
*) Bambang Soesatyo adalah Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/dosen tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)