"Surogasi sudah menjadi metode yang mapan bagi keluarga yang tidak bisa memiliki anak. Namun undang-undang surogasi sudah ketinggalan zaman dan perlu diperbarui," kata Allan dalam sebuah pernyataan.
Saat ini orang tua harus mengadopsi anak berdasarkan UU surogasi yang sudah berusia 70 tahun.
Komite Kesehatan Parlemen tengah mengkaji RUU yang diajukan Tamati Gerarld Coffey, anggota parlemen dari Partai Buruh, selain mempertimbangkan rekomendasi dari laporan tentang UU surogasi yang sudah ada.
Komite saat ini sedang mempertimbangkan proses yang baru untuk menentukan orang tua sah dibandingkan dengan proses adopsi, membuat daftar kelahiran surogasi, mengklarifikasi pembayaran yang berkaitan dengan surogasi, serta mengakomodasi pengaturan surogasi secara internasional.
Juanita Copeland, anggota dewan Kesuburan Selandia Baru, sebuah organisasi nirlaba, mengatakan bahwa rancangan undang-undang bisa memperjelas dan meningkatkan perlindungan bagi siapa saja yang terlibat dalam surogasi, atau kerap pula disebut sebagai sewa rahim.
"RUU itu akan memudahkan masyarakat untuk membangun keluarga yang diimpikan, serta menghargai berkah yang luar biasa dari ibu pengganti," kata Copeland.
Pengesahan undang-undang tersebut kemungkinan belum bisa diundangkan oleh DPR Selandia Baru sebelum pemilihan umum pada 14 Oktober mendatang.
Berdasarkan keterangan yang dikutip dari smartlegal.id, penyatuan benih suami dan istri yang kemudian ditanam kembali di rahim ibu pengganti terikat melalui perjanjian yang dibuat dengan pihak suami isteri dengan imbalan tertentu bagi wanita penyewa rahim.
Setelah melahirkan, ibu pengganti diwajibkan untuk memberikan bayi yang ia kandung kepada orang tua yang telah menyewakan rahim berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
Sumber: Reuters/legal.id