Ketua LSF RI Rommy Fibri Hardiyanto menekankan kepada para pelajar dan mahasiswa untuk mengetahui dan memahami budaya sensor mandiri agar mampu memilih dan memilah tontonan sesuai dengan kategori usia.
“Jadi, secara mandiri kita harus bisa memfilter film yang ingin kita tonton,” kata Rommy Fibri Hardiyanto di Samarinda, Selasa.
Kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri tersebut juga dihadiri para guru, akademisi, perwakilan dinas atau lembaga, dan pengusaha bioskop di Kota Samarinda.
Rommy meluruskan pandangan publik yang keliru selama ini bahwa tugas LSF hanya menyensor film yang ditayangkan di bioskop.
Padahal, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, LSF juga menyensor seluruh tayangan televisi, iklan film, produk DVD, dan film festival.
“Seluruh tayangan yang ditampilkan di televisi itu disensor, kecuali live report dan news,” kata Rommy.
Ia mengemukakan cara kerja LSF kini juga mengikuti perkembangan zaman. Jika dulu LSF menyensor film dengan langsung menggunting potongan film pada seluloid, saat ini tim LSF hanya mencatat adegan yang perlu disensor lalu dikembalikan pada pemilik film.
“Seiring perkembangan teknologi, sekarang sudah digital, tidak ada seluloid. LSF hanya menyensor, film diputar, mencatat adegan yang melanggar UU kemudian diserahkan kembali ke pemilik film, terserah mereka mau diblur atau ganti adegan," katanya.
Permasalahan saat ini di tengah kemajuan digitalisasi yang begitu pesat, kata dia, LSF tak mampu menyensor seluruh tayangan film, terutama yang tayang di berbagai kanal platform streaming Over The Top (OTT).
"Oleh karena itu, perlu adanya gerakan moral agar tontonan masyarakat bisa tersaring dengan baik, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan usianya," kata Rommy.
Kegiatan sosialisasi ini dihadiri oleh Kepala Biro Adpim Setdaprov Kaltim Syarifah Alawiyah, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman (FIB Unmul) Dr Masrur, dan para penggiat film lokal di Bumi Etam.