RAKYATJATENG – Musibah kecelakaan pada 2011 tak bakal dilupakan Leani Ratri Oktila. Kejadian tersebut berdampak cukup besar pada fisiknya. Namun, dia tak larut dalam kesedihan. Segera bangkit menargetkan juara pada Paralympic Games (Paralimpiade) 2021 di Tokyo, Jepang.
Bagaimana kronologi kecelakaan sepuluh tahun lalu?
Pas bawa motor, menabrak mobil. Saya patah tulang kaki dan tangan. Sekarang selisih kaki kanan dan kiri saya 11 sentimeter. Pada 2011, selisihnya hanya 1,5 sentimeter. Tapi karena tidak dioperasi dan hanya ke pengobatan alternatif, ternyata perkembangan tulangnya tidak seimbang. Makanya saya ikut klasifikasi disabilitas ringan di kelas lower 4.
Apakah sempat down?
Nggak. Bersyukur anggota tubuh masih utuh. Keluarga juga memberi motivasi, dan saya tidak kecil hati.
Persiapan menuju Paralimpiade Tokyo sudah sejauh mana?
Sudah sangat maksimal. Kami persiapan sejak 2019. Seharusnya tanding di 2020, tapi diundur. Walau ditunda, tidak menurunkan motivasi kami di Pelatnas Solo.
Sebelum ke Tokyo pada 24 Agustus-5 September 2021, ada event lain yang bakal diikuti?
Rencana akhir bulan ke Dubai, 25 Maret-1 April, ada single event disana.
Di Paralimpiade ikut berapa nomor?
Saya turun di tiga nomor. Single, mix double (SL 3-SU 5) duet dengan Hery Susanto, dan double putri (SL3- SU 5) bersama Khalimatus Sadiyah.
Bisa jadi atlet NPC, alurnya seperti apa?
Setahun setelah kecelakaan, ada Peparnas digelar daerah saya di Riau (2012). Saya diajak teman masuk di NPC Riau. Mulai saat itu terjun di para badminton. Sebelumnya setahun nggak pernah main.
Tantangan jadi atlet para badminton?
Keseimbangan saya nggak stabil. Karena saya disabilitasnya nggak dari lahir. Sering merasa kaki kiri saya ini sudah sampai (menapak lantai), ternyata belum. Jadi sering jatuh dan tersandung. Timing saya sering kurang pas. Contoh mau smash, ternyata tidak bisa karena kaki kiri saya lebih lambat. Saya kehilangan kecepatan juga. Jadi seharusnya menyerang, tapi saya telat. Saya tahu kelemahan diri saya ini. Tetap butuh waktu untuk membenahi semuanya
Nominal bonus dan fasilitas atlet NPC sudah disetarakan dengan atlet lainnya. Tanggapannya?
Bersyukur saya sudah mendapatkan yang enak-enaknya. Termasuk gaji besar. Belum sampai merasakan seperti yang dikeluhkan beberapa senior. Ada yang sempat bilang digaji Rp 700 ribu-Rp 2 juta. Saya tidak merasakan itu. Setelah masa transisi (pemerintahan) dari Pak Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ke Pak Jokowi, kami disetarakan sekali. Termasuk dari sisi jumlah bonus kejuaraan. Waktu Asian Para Games Incheon, bonus kami belum sama (dengan atlet Asian Games). Tapi pas masa Pak Jokowi berubah. Saat saya mau main tanding di final 2018 di Senayan (Asian Para Games), bonus teman-teman yang sudah bertanding langsung diberikan sebelum keringat ini mengering. Perhatian pemerintah memang luar biasa mengapresiasi perjuangan kami.
Pak Senny Marbun (ketua NPC Indonesia) sempat bilang menargetkan emas dari bulu tangkis, dan Mbak Leani jadi harapan utamanya. Itu jadi beban apa motivasi?
Jelas jadi motivasi. Soalnya di Asian Para Games (2018 di Jakarta) saya dapat dua emas dan satu perak. Semua yang ikut di situ diikutkan di Paralympic Games. Paling yang beda di kelas mix, nanti dari Eropa bagus-bagus. Salah satu pesaing terberat saya dari Prancis (Lucas Mazur/Mazur Noel).
Mbak Leani saat ini menduduki peringkat satu dunia. Apakah itu bisa jadi modal penyemangat?
Kalau saya pribadi jelas jadi penyemangat. Menambah rasa percaya diri. Tapi jangan sampai terlena. Saya peringkat satu di kelas single dan di kelas mix double. Kalau di kelas ganda putri, saya peringkat dua dunia.
Seperti apa peta kekuatan lawan?
Hampir sama dengan bulu tangkis yang normal atau cabor (cabang olahraga) lainnya. Calon lawan biasanya yang sering ketemu di beberapa event. Jadi saya sudah hafal peta kekuatannya.
Di masa pandemi, sejumlah jadwal event internasional tertunda, apakah memengaruhi antusiasme atlet?
Soal itu tergantung atletnya. Kalau mengurangi porsi latihan, memang pasti ada penurunan. Saya tetap latihan rutin di Solo, bebannya juga saya tambah. Kalau teman saya mulai latihan jam 08.00, saya pasti 06.30 sudah latihan mandiri di sini (HTC, venue Pelatnas). Itu karena saya main di tiga nomor, jadi persiapan ekstra. Maintenance porsi latihan, istirahat, dan kegiatan di luar lapangan. Yang utama tetap fokus, karena menjadi duta bangsa itu tanggung jawabnya berat. Saya tak mau mengecewakan negara.
Event internasional kali pertama yang diikuti?
Asian Para Games di Incheon (Korea Selatan 2014). Awalnya dipanggil Pelatnas karena ikut Indonesia Open.
Seperti apa regenerasi atlet disabilitas di negara lain?
Atlet lawan berjalan cepat. Salah satunya Jepang. Kalau kita belum berjalan cepat.
Kendala atlet Indonesia?
Sebenarnya banyak atlet disabilitas. Seperti di SKO (sekolah khusus olahraga). Tapi kan saat ini yang dibutuhkan adalah kans meraih medali, jadi butuh jam terbang juga.
ASEAN Para Games Hanoi dan Peparnas di Papua jadwalnya mepet. Wacananya atlet Pelatnas tidak diikutkan dukung daerahnya di Peparnas. Bagaimana menyikapinya?
Menurut saya bagus sekali. Kita bisa lihat adanya juara baru. Kalau atlet pelatnas ikut, bagaimana mereka bisa muncul. Bagaimana regenerasi baru bisa menonjol.
Perkembangan NPC dalam mengelola potensi atlet berjalan baik tidak?
NPC Indonesia hebatnya kinerjanya. Di setiap daerah berkembang dengan baik, dan semua atletnya terpantau. Yang di pelatnas juga difasilitasi. NPC mau mengeluarkan budget besar demi atlet potensial. Bisa diikutkan terjun di kejuaraan internasional untuk menambah jam terbang. Kalau kita butuh lawan tanding, pasti didatangkan atlet normal yang kualitasnya di atas kita untuk jadi lawan sparing. (rs/NIK/per/JPR/JPC)