JAKARTA— Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) sebagaimana birokrasi lain dalam pemerintahan, mengenal pembagian tanggung jawab dan wewenang jajaran pemasyarakatan. Tidak selayaknya jika terjadi masalah yang menjadi tanggung jawab dan kewenangan di tingkat bawah, serta merta pemangku kewenangan jauh di atasnya dianggap harus bertanggung jawab penuh atas masaah tersebut.
Pernyataan tersebut dilontarkan Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Hasanuddin Masaile sehubungan adanya tuntutan pihak tertentu yang meminta pengunduran diri Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami terkait kasus kaburnya terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto. Setya—terpidana 15 tahun penjara, kabur usai melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Santosa, Bandung. Setya disebutkan berobat sejak Rabu 12 Juni dan menjalani rawat inap karena sakit pada lengannya. Saat ini Setya telah dipindahkan dari Lapas Sukamiskin, Bandung, ke Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, yang merupakan Lapas berkeamanan super maksimum.
Menurut Hasanuddin, pembagian tugas itu dilakukan untuk membuat supervisi, kontrol dan pengendalian wewenang menjadi lebih efektif. Lapas, Rutan, Bapas dan Rupbasan itu berada dalam pengawasan langsung kantor wilayah. “Berobatnya Setya Novanto itu kewenangan wilayah, kecuali berobatnya keluar wilayah, izin diberikan pusat,” kata dia.
Menurut Hasanuddin, dirinya percaya akan sistem. Sistem, bagi dia, jauh lebih efektif daripada apa yang disebutnya ‘kontrol sana kontrol sini atau ngomong sana ngomong sini’. “Bila sistem yang kita bangun baik dan mengontrol dengan baik, insya Allah itu akan membantu lembaga berjalan dengan baik sesuai tugasnya,”kata mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM tersebut. Hasanuddin melihat, Dirjen Utami selama ini justru merupakan figur yang sangat antusias menggalakkan penerapan sistem yang lebih baik bagi upaya efisiensi, efektivitas dan pemanusiaan sistem pemasyarakatan melalui program revitalisasi pemasyarakatan.
Senada dengan Hasanuddin, pemerhati pemasyarakatan Kris Budihardjo juga menanggapi skeptis tuntutan sebagian pihak tersebut. Bukan saja tidak yakin dengan efektivitas cara tersebut, Kris justru meragukan adanya keadilan dalam tuntutan langsung tersebut.
“Saya melihat aturan, prosedur standard opersional (SOP) serta arahan sudah disampaikan, penguatan jajaran pemasyarakatan sudah dilakukan, yang melanggar pun begitu ketahuan segera ditindak. Kalau ada kesalahan di tingkat unit pelaksana teknis (UPT) lalu dirjen yang diganti, apakah efektif? Atau justru sebaliknya karena yang duduk nanti orang baru yang masih harus belajar, minimal beradaptasi. Selain itu, bagaimana dengan berbagai keberhasilan yang sudah dicapai, apakah akan kita abaikan dan menutup mata?” kata Kris, retoris.
Berkaitan dengan pemberian izin bagi Setya untuk berobat, Kris melihat yang terjadi bukanlah pemberian previlese sebagaimana banyak dituding sebagian kalangan. Ia melihat hal itu dari sisi hak narapidana di satu sisi, dan kekuatiran petugas Lapas di sisi lain. “Setya itu berpenyakit jantung, lalu tangannya mati rasa. Petugas pun wajar takut bila yang bersangkutan meninggal di tempat tanpa sedikit pun upaya pemberian pengobatan,” kata dia. [ ]