Belajar Etika “Investigative Journalism” dari Sheila Coronel

  • Bagikan

Tak sah rasanya seorang jurnalis mengaku sebagai wartawan paripurna bila tak mengenal Sheila Soto Coronel dan sepak terjangnya.

==========================

Oleh: Sukriansyah S. Latief

Wartawan Senior Harian FAJAR

==========================

SHEILA Coronel, perempuan jurnalis asal Filipina, yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan jurnalisme di Asia, bahkan di belahan dunia ini, khususnya dalam perkembangan investigative journalism. Dia kini memang tak muda lagi.

Sheila Soto Coronel (kiri). (Foto: IST)

Di usianya yang ke-50 tahun, Sheila tidak lagi turun ke lapangan mencari fakta dan “membongkar” dokumen. Sekarang dia lebih banyak “bergaul” dengan buku dan mahasiswa pascasarjana di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat.

Sejak 26 Desember 2006, dia diangkat menjadi Director of The Stabile Center for Investigative Journalism di kampus tersebut. Dia pun sudah bergelar Professor of Professional Practice.

Saya pertama kali bertemu Sheila di Malaysia ketika mengikuti course on advantage reporting yang diadakan SEAPA, 18-20 Juli 2002. Ketika itu, dia masih amat bersemangat memberikan materi tentang investigative reporting kepada puluhan jurnalis dari Asia Tenggara. Menurutnya, ketika itu, bukan sebuah karya jurnalistik investigative reporting bila jurnalis tidak mengungkap fakta yang disembunyikan atau “membongkar” dokumen dan hasilnya bisa mengubah pandangan masyarakat, misalnya yang benar adalah A, bukan B seperti yang selama ini umum diketahui. Dan yang lebih penting adalah, liputan itu mempunyai dampak atau pengaruh yang lebih baik bagi masyakarat.

Begitulah Sheila. Ketika bertemu kembali Jumat, dua pekan lalu, di tempat kerjanya 604F, sebuah ruangan yang tak begitu luas di kampus Univeristas Columbia, dia tampak sedikit lebih tua, tapi tetap semangat menerima saya dan jurnalis dari TV One, Metro TV, serta Batam News. Sheila kembali bercerita tentang investigative journalism, tapi lebih banyak di ranah akademik, dan masalah etika yang sering diabaikan jurnalis. Dia juga mengenang ketika beberapa tahun lalu ke Makassar. Masih kuat dalam ingatannya, pisang epe di sepanjang Pantai Losari, dan nikmatnya makan ikan bakar di Makassar.

Sheila memulai karir jurnalistiknya sebagai reporter di Philipine Panorama pada tahun 1982, sebuah majalah yang punya banyak pembaca. Dia juga pernah bergabung sebagai reporter politik di Manila Times, dan menulis dengan sangat baik untuk The Manila Chronicle. Sheila juga pernah menjadi stringer untuk The New York Times di Amerika dan The Guardian di Inggris.

Di bidang akademik, Sheila lulus strata 1 di bidang ilmu politik di Univeritas Filipina dan masternya tentang sosiologi politik di London School of Economics.

Sepanjang perjalanannya sebagai jurnalis, Sheila telah menghasilkan banyak liputan-liputan investigasi, termasuk pelanggaran hak asasi manusia di Filipina. Baik itu ketika secara politik pemerintahan Ferdinand Marcos kehilangan kekuatan, maupun di masa pemilihan pemerintahan Corazon Aquino.

Dalam pemerintahan Aquino, Sheila menulis sedikitnya tujuh laporan investigasi tentang upaya kudeta.Tulisannya tidak hanya tentang kudeta, korupsi, dan militer, tapi juga tentang rakyat yang miskin sementara penguasa bisa berfoya-foya. Misalnya tentang istri Ferdinand, Imelda Marcos yang punya begitu banyak koleksi sepatu dan perhiasan. Juga tentang yayasan milik keluarga Marcos, yang ketika itu, Imelda memberikan 10 juta peso per tahun kepada yayasan, lantas dari mana uang sebanyak itu?

Pada 1989, bersama beberapa temannya, Sheila mendirikan Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ).

Organisasi ini banyak memberikan pelatihan kepada jurnalis di Filipina, bahkan di Asia, tentang keterampilan melakukan pelaporan investigasi dan penulisan mendalam.

Pada masa kepemimpinan Sheila, PCIJ berkembang pesat memberikan pelatihan-pelatihan investigasi, termasuk yang bekerja sama dengan SEAPA, yang memberikan pelatihan kepada wartawan di Malaysia itu. Sheila makin dikenal karena menjadi editor dan menulis banyak buku tentang investigative reporting. Dia pun mendapatkan banyak penghargaan, salah satunya adalah Magsaysay Award for Journalism, Literature, and The Creative Communication Arts, pada tahun 2003.

Kini Sheila juga tercatat sebagai Board of Directors pada The Center for Public Integrity, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendedikasikan diri untuk pembuatan laporan-laporan investigasi, yang berkantor di Washington DC.

Menurut Sheila, bagi seorang jurnalis, harus selalu peka terhadap sebuah laporan yang kelihatannya terlalu sempurna atau benar atau too good to be true. Karena, kata Sheila, tidak ada yang sempurna di dunia ini, pasti ada kekurangannya. Maka, kalau ada laporan peristiwa atau dokumen laporan keuangan yang terlalu rapi atau sempurna, tanpa cacat, maka sebagai jurnalis mestinya harus peka dan berpikir skeptis.

”Lihat dokumen per dokumen, siapa di belakang pembuat dokumen, lihat apa yang ada dalam dokumen. Ini memang butuh waktu yang lama dan juga biaya yang besar,” kata Sheila.

Bagi Sheila, dalam melakukan liputan investigasi, soal etika menjadi hal yang utama. Dua hal yang sering diabaikan jurnalis adalah soal cara mendapatkan informasi dan yang kedua soal proses mendapatkan informasi.

Menurutnya, seorang jurnalis tidak boleh membeli informasi atau membayar sumber informasi atau berita. Sebab, bila ini dilakukan dan diketahui oleh masyarakat, maka kredibilitas jurnalis dan medianya akan diragukan. Bukan tidak mungkin nara sumber itu tidak memberikan informasi yang akurat atau benar, karena didasari atas keinginan mendapatkan uang. Tapi, kalau data atau informasinya benar, maka sesungguhnya bila dia menginginkan uang, maka akan lebih banyak bisa dia dapatkan bila ditawari untuk membuat buku atau film dari informasi yang dimiliki.

”Jadi tidak boleh membeli atau membayar narasumber,” tegas Sheila.

Hal yang kedua adalah soal proses mendapatkan informasi.

Menurut Sheila, dia tidak sependapat bila jurnalis mendapatkan informasi dengan sembunyi-sembunyi atau tidak mengaku sebagai jurnalis. Baginya, jurnalis tidak boleh merekam atau mengambil gambar nara sumber dengan sembunyi-sembunyi (hidden camera), seperti yang kini banyak dilakukan jurnalis.

Pada saat wawancara, lanjutnya, kita harus mengaku sebagai wartawan dan meminta izin untuk melakukan rekaman.

”Tapi ini dalam keadaan normal, kecuali kalau ada hal-hal yang memang sangat terpaksa, tak ada jalan lain dan demi kepentingan umum atau masyarakat,” tambah Sheila.

Soal membeli informasi atau data, juga ditentang Gene P. Mater, konsultan media Freedom Forum, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Menurut mantan wartawan beberapa media cetak dan elektronik di Amerika ini, membeli atau membayar sumber berita melanggar kode etik.

”Juga karena akan membuat orang akan terbiasa dengan menjual informasi, dan ini bisa membuat mereka mengarang-ngarang cerita,” kata Mater ketika ditemui di Newseum, Washington DC. Freedom Forum menjadi pengelola Newseum, tempat pameran media yang sangat canggih Amerika. Hal sama dikemukakan Bill Buzenber, Direktur Eksekutif Center for Public Integrity.

Di tempatnya, yang mempekerjakan beberapa jurnalis investigator, pelanggaran etika tidak dapat ditolerir. Pernah ada jurnalis yang dikeluarkan, karena pelanggaran etika. Bagi dia, jurnalis investigator memang harus mencari dan mengungkap fakta yang disembunyikan, tidak dengan membeli atau membayar narasumber.

Memang LSM yang didirikan tahun 1990 di Washington itu, senantiasa menjaga integritas jurnalisnya dengan memperhatikan masalah-masalah etika. Hasilnya, kata Buzenber, dapat dilihat dari banyaknya buku yang mereka terbitkan, tentang investigative reporting masalah-masalah publik, di antara korupsi dan tentang tanggung jawab pemerintah. (fajar)

 

  • Bagikan