FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan pembatasan produksi minyak Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) bakal berimbas pada harga minyak.
Harga minyak mentah dunia diprediksi masih akan bergejolak hingga penghujung tahun ini. Karena itu, situasi tersebut bakal sangat memengaruhi gerak minyak dunia.
Kondisi itu semakin pelik menyusul sikap Rusia yang tidak mau mengikuti aturan pembatasan produksi OPEC.
”Itu akan sedikit menekan harga minyak dunia. Kemudian, secara tren harga minyak masih tertekan, masih di kisaran USD 40 per barel,” tutur Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Selasa, (11/7).
Menurut Ariston, pergerakan harga minyak mentah hingga akhir tahun ini akan berada di kisaran USD 40 hingga USD 48 per barel.
Saat ini, harga minyak mentah berada di level USD 44 per barel (West Texas Intermediaries/WTI).
Apalagi, dalam jangka pendek, secara tren masih turun. Banderol minyak akan mengikuti circuit pada level support USD 40-48 per barel hingga penghujung tahun.
Pembatasan produksi, sambung Ariston, sangat berperan terhadap gejolak harga minyak mentah.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, produksi mulai turun dan diharapkan dapat mendongkrak sedikit harga minyak dunia.
Karena itu, hingga penghujung tahun ini, gerak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) diprediksi berada di kisaran Rp 13.400-13.500 per USD.
Fluktuasi nilai tukar terjadi seiring pengaruh sentimen eksternal.
Adapun sentimen memiliki potensi besar untuk memengaruhi nilai tukar adalah wacana kenaikan suku bunga The Fed di akhir tahun ini.
Di sisi lain, realisasi target pertumbuhan ekonomi pemerintah pada kuartal kedua juga diprediksi bakal berefek pada pergerakan rupiah.
Kalau realisasi pertumbuhan di bawah target, nilai tukar dipercaya akan melemah.
Hal tersebut akan mendorong Bank Indonesia (BI) mengambil tindakan stabilisasi rupiah.
”BI mengubah kebijakan giro wajib minimum (GWM) cukup bantu likuiditas. Itu membantu perekonomian nasional,” tegasnya. (Fajar/jpnn)