BOYOLALI, RAKYATJATENG – Tiap daerah memiliki cita rasa dan varietas kopi berbeda. Ketinggian lahan ikut memengaruhi kualitasnya. Nah, tanaman kopi di Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel ini memiliki kekhasan yang unik.
Masyarakat setempat menyebutnya kopi nangka. Berbeda dengan kopi lainnya, ketika diseduh, rasa kopi nangka sudah manis meskipun tanpa dicampur gula.
Kopi nangka telah ditanam sejak zaman kolonial. Tapi, selama ini, warga belum mengolahnya sendiri. Dijual langsung ke pasar atau tengkulak dalam bentuk biji kering.
Potensi kopi nangka ditangkap Eko Budi Suroso. Dia mampu mengolahnya hingga menghasilkan cita rasa kopi berkualitas. Untuk menyajikan kopi nangka secara sempurna, tidak butuh cara rumit. Tapi takarannya harus pas.
“Untuk satu gelas kopi, bubuk kopi yang dibutuhkan seberat 1 gram. Saat menuangkan air, cukup separo gelas dulu. Tunggu sekitar 10 detik, baru tuangkan lagi sisanya sampai gelas penuh,” ungkap Eko.
Dengan cara itu, seduhan kopi nangka dapat dinikmati secara paripurna. Seperti diungkapkan Prihantono, salah seorang penikmat kopi nangka. “Kopi peninggalan Belanda ini rasanya unik dibandingkan kopi lainnya,” katanya.
Rasa kopi nangka yang manis, membuat Prihantono ketagihan. Apalagi ditemani singkong goreng hangat. Kenangan bersama mantan pun langsung tersisihkan.
Meskipun kualitas kopi nangka sudah diakui konsumen, namun Eko Budi Suroso tak berpuas diri. Dia terus melakukan uji coba hingga menemukan kopi beer.
Berawal ketika Eko menemukan banyak bunga kopi berguguran usai penyerbukan. Bunga kopi tersebut dikeringkan lalu dijadikan campuran meramu kopi.
“Pengeringannya (bunga kopi) tidak boleh langsung kena sinar matahari. Jadi harus sabar,” ujarnya.
Bunga kopi yang telah kering lalu difermentasi alami menggunakan bakteri baik dari hasil fermentasi kulit biji kopi. Dari proses panjang ini, menghasilkan air yang digunakan sebagai campuran kopi beer.
“Kami harus berinovasi dalam mengolah kopi. Baik dalam bentuk bubuk maupun kopi siap santap untuk meningkatkan penghasilan. Dengan begitu, masyarakat semakin serius menanam dan merawat kopi agar menghasilkan yang berkualitas,” beber Eko.
“Petani minimal bisa menghasilkan 1 ton kopi kering setiap tahunnya. Hasil yang begitu melimpah tersebut sangat rugi jika hanya dijual di pasar bebas,” pungkasnya. (rs/wid/fer/JPR/JPC)