TEMANGGUNG, RAKYATJATENG – Klasik. Mungkin satu kata ini cukup untuk menggambarkan sebuah fenomena yang jamak terjadi di wilayah pedesaan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Yakni, pernikahan di usia dini yang berimbas pada setumpuk masalah atau problematika sosial.
Akibat yang kerap mengemuka antara lain perceraian, ekonomi, hingga masalah perlindungan anak.
Hal tersebut terungkap saat digelarnya acara Sosialisasi dan Penyuluhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengayom Temanggung di Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, belum lama ini.
Sekretaris Desa Petarangan, Nofia Ratriana menyebut, di wilayahnya ini budaya pernikahan dini seperti sudah menjadi sebuah tradisi turun-temurun.
Menurutnya, rata-rata usia pernikahan di Desa Petarangan berkisar antara 15 sampai 17 tahun. Ironisnya, sebagian pernikahan dilatarbelakangi oleh keinginan orang tua masing-masing mempelai, bukan atas kemauan sendiri.
“Kebanyakan yang menginginkan pernikahan adalah orang tua masing-masing, bukan atas kehendak para pasangan tersebut,” jelasnya.
Lanjutnya, dengan pernikahan usia prematur tersebut, tak sedikit pasangan yang harus mengkandaskan bahtera rumah tangganya di tengah jalan alias bercerai.
Ia menduga, penyebab utama perceraian tak bisa dipisahkan dari pernikahan usia dini itu sendiri. Pasalnya, secara mental, psikologi, dan ekonomi, banyak dari mereka yang sejatinya belum sepenuhnya siap.
Tak sampai di situ saja, problem lain yang juga menjadi dampak adalah potensi terlantarnya anak-anak hasil pernikahan tersebut.
“Ya itulah masalah yang masih menjadi fenomena umum di desa. Beberapa kasus, anak-anak hasil pernikahan yang orang tua nya terpaksa bercerai mau tidak mau di momong sama kakek neneknya. Lha bagaimana, secara ekonomi mereka belum mapan, jadi harus pontang-panting mencari nafkah, menjadi karyawan pabrik misalnya,” imbuhnya.
Menanggapi fenomena tersebut, praktisi hukum sekaligus Ketua LBH Pengayom Temanggung, Totok Cahyo Nugroho mengklaim bahwa sejatinya batas usia pernikahan sudah diatur oleh negara ke dalam Undang-Undang.
“Undang-Undang itu dibuat untuk mengatur batas usia pernikahan. Mungkin salah satu pertimbangannya ya fenomena nikah muda seperti ini. Jadi, negara mengubah batas usia pernikahan bagi seseorang. Imbasnya lagi, saya temukan banyak lonjakan drastis terkait dispensasi pernikahan. Jika biasanya cuma satu atau dua, sekarang bisa mencapai belasan,” terangnya.
Sebagai langkah sekaligus upaya mencegah rantai fenomena pernikahan usia muda, ia berpendapat bahwa harus terus diperbanyak sosialisasi secara lebih luas dan berkesinambungan.
Pasalnya, jika tidak ditekan dengan upaya preventif seperti itu, hal ini akan menjadi bom waktu bagi aspek sosial masyarakat itu sendiri.
“Saya rasa sangat penting masalah sosialisasi secara lebih luas kepada masyarakat. Jangan sampai, fenomena yang dianggap selama ini sebagai budaya, justru menjadi bumerang dan bom waktu bagi kehidupan sosial masyarakat itu sendiri,” pungkasnya. (Sen)