MAGELANG, RAKYATJATENG – Tradisi “Suran Tutup Ngisor” oleh keluarga seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo di lereng Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah secara khusus untuk tolak bala dari pandemi COVID-19, kata pemimpin padepokan itu, Sitras Anjilin (58).
“‘Suran’ kali ini kami keluarga padepokan yang utama untuk tolak bala (dari pandemi, red.),” katanya di Magelang, Selasa (1/9) malam.
Ia mengatakan hal itu di sela pembukaan rangkaian tradisi “Suran Tutup Ngisor” selama 1-3 September 2020 dalam suasana pandemi virus corona jenis baru tersebut.
Padepokan Tjipto Boedojo di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, didirikan pada 1937 oleh Romo Yoso Sudarmo (1885-1990).
Hingga saat ini keluarga besar padepokan tersebut menghidupi empat tradisi budaya yang bersifat wajib dikerjakan setiap tahun, yakni Suran, HUT RI, Idul Fitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Tradisi “Suran Tutup Ngisor” sebagai perayaan tahun baru dalam kalender Jawa, mereka lakukan setiap pertengahan Sura, bertepatan dengan bulan purnama yang tahun ini jatuh pada 2 September 2020.
Penabuhan gamelan dengan tembang-tembang Jawa sebagai pembuka rangkaian “Suran Tutup Ngisor” diberi nama “Uyon-Uyon Candi”, dilakukan di makam Romo Yoso di kompleks padepokan tersebut. Keluarga padepokan yang umumnya hidup sehari-hari sebagai petani di kawasan Merapi itu, menyebut makam Romo Yoso sebagai candi.
Sejumlah gending yang mereka sajikan pada acara “Uyon-Uyon Candi” dalam suasana takzim pada Selasa (1/9) hingga menjelang tengah malam itu, antara lain berjudul Sri Wilujeng, Subokastowo, Ugo-ugo, Sri Kacarios, Sri Rejeki, Asmarandana, Kutut Manggung, dan Pangkur. Selama perayaan, keluarga padepokan mengenakan pakaian adat Jawa.
“Malam ini kami ‘miwiti’ (memulai rangkaian tradisi ‘Suran’, red.),” ujar Sitras.
Rangkaian tradisi “Suran Tutup Ngisor” yang tahun ini sebagai ke-85 dilanjutkan pada Rabu (2/9) berupa pembacaan Surat Yasin, kenduri, pemasangan sesaji di berbagai tempat di kampung itu, tirakatan, persembahan panembrama, beksan Kembar Mayang, dan puncaknya pementasan wayang sakral dengan lakon “Lumbung Tugu Mas”, sedangkan pada Kamis (3/9) berupa kirab jatilan dan wayang topeng.
“Kali ini kami tidak menghadirkan pementasan dari luar daerah (sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, karena pandemi, red.). ‘Suran’ dilakukan oleh keluarga padepokan. Kami menyesuaikan dengan situasi,” katanya.
Simbol-simbol tolak bala dari pandemi COVID-19 selain disajikan melalui doa para sesepuh padepokan pada pertengahan pentas wayang sakral, juga saat kirab jatilan mengelilingi kampung itu tiga kali sambil membawa sejumlah alat dapur.
Tahun ini, saat kirab jatilan juga dilakukan penaburan beras kuning, selain pemukulan linggis menggunakan muntu dan penabuhan tampah memakai centong.
“Suran tahun ini kami sertakan penaburan beras kuning saat kirab jatilan,” kata dia.
Ia mengemukakan pentingnya berbagai upaya mengatasi COVID-19 dan dampaknya supaya kehidupan masyarakat pulih, setelah sekitar enam bulan terakhir dunia menghadapi pandemi virus tersebut.
“Termasuk terus-menerus dikuatkan kesadaran masyarakat untuk menaati protokol kesehatan,” kata Sitras Anjilin. (Antara)