FAJAR.CO.ID – Akhir-akhir ini terjadi beberapa penyerangan brutal terhadap tokoh agama. Pertama, persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang pada 7 Februari lalu.
Selanjutnya, serangan terhadap peribadatan di Gereja St. Ludwina, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman tadi pagi (Minggu, 11/2/2018) yang menyebabkan Romo Prier dan pengikutnya mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam.
Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, sebelumnya juga terjadi dua serangan brutal terhadap tokoh agama, yaitu ulama, tokoh NU, dan pengasuh Ponpes Al-Hidayah Cicalengka, KH Umar Basri, pada 27 Januari. Juga, ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, HR Prawoto, yang dianiaya orang tak dikenal pada 1 Februari hingga meninggal dunia.
“Setara Institute mengutuk seluruh kebiadaban yang sarat dengan sentimen keagamaan tersebut,” katanya.
Berkaitan dengan itu, Hendardi mengingatkan kembali kepada pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas keagamaan bahwa potret riil kerukunan terletak di tingkat akar rumput. Menurutnya, kerukunan antar umat beragama tidak cukup hanya dibangun secara simbolik elitis dalam acara-acara pertemuan antar agama.
Potret kerukunan yang riil dapat dilihat dalam relasi antar umat di level bawah, bukan di atas meja rapat dan ruang-ruang seremonial antar pemuka agama.
Hendardi mengapresiasi inisiatif pemerintah dan para pemuka agama untuk duduk bersama membangun kesepahaman tentang etika lintas umat demi kerukunan bangsa dan umat beragama. Namun, hal itu tentu tidak cukup. Pemerintah, pemuka agama dan elite organisasi keagamaan harus melakukan tindakan konkrit untuk menghentikan persekusi terhadap identitas keagamaan yang berbeda, khususnya atas mereka yang minor, umat agama yang sedikit.
Pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas keagamaan sesuai otoritas ujarnya masing-masing hendaknya mencegah dan menghentikan provokasi di ruang-ruang syiar agama yang membangkitkan perasaan tidak aman, kebencian, dan kemarahan, yang dapat memicu tindakan main hukum sendiri dan penggunaan kekerasan seperti yang terjadi di Sleman, Tangerang, Bandung, juga Bantul dalam dua pekan terakhir.
“Aparat keamanan hendaknya mewaspadai dan mencegah pola-pola gangguan keamanan yang menyasar tokoh-tokoh agama dan menggunakan sentimen keagamaan untuk memecah belah umat beragama dan menghancurkan kerukunan di tingkat akar rumput,” ujar Hendardi.
Pertama-tama, tentu dengan penegakan hukum yang profesional, terbuka, adil dan tidak memihak. Aparat tidak boleh tunduk terhadap kelompok-kelompok intoleran dalam penegakan hukum itu. Setara Institute berkali-kali mengingatkan lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus serupa di atas akan mengundang kejahatan lain yang lebih besar.
“Kepada para politisi mengingatkan agar seluruh proses kompetisi politik pada tahun elektoral berkaitan dengan pilkada dan pilpres mendatang hendaknya dijauhkan dari penggunaan segala cara yang memolitisasi sentimen primordial, khususnya agama, untuk kepentingan jangka pendek pemilihan. Kerukunan antar elemen bangsa dan ikatan kebangsaan di antara mereka terlalu luhur untuk dirusak demi dipertukarkan dengan jabatan politik jangka pendek apapun,” demikian Hendardi. (wah/rmol/fajar)