FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Kerugian PT Pertamina (Persero) cukup tragis. Bagaimana tak tragis, BUMN andalan bangsa ini menelan kerugian sebesar Rp 19 triliun hanya kurun waktu Januari hingga September 2017.
Kerugian Pertamina dibawa kepemimpinan Elia Massa Manik ini cukup mencolok. Atas dasar itu, DPR diminta untuk melakukan Panitia Khusus (Pansus) Pertamina untuk menulusuri kerugian tersebut.
Peneliti Indef, Bhima Yudistira setuju dengan sejumlah pihak terkait adanya audit investigasi terhadap kinerja keuangan Pertamina.
“Harus di audit. Kalau perlu buat Pansus Pertamina. Karena, ini dugaan kuat terjadi inefisiensi,” kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.
Bhima pun menekankan agar Pertamina dapat bisa lebih bersinergi dengan pemerintah, tepatnya Kementerian ESDM. Hal itu diperlukan untuk menghindari kembali terjadinya kerugian.
“Pertamina harus bisa sinergi dan pemerintah perlu mengawasi kinerja khususnya risiko keuangan,” jelas dia.
Sinergi tersebut, lanjut Bhima, perlu dilakukan karena persoalan kerugian yang dialami oleh Pertamina ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan kinerja yang terus jeblok.
Di satu sisi, Pertamina di bawah Massa Manik seakan tidak pernah mengeluarkan kebijakan atau strategi yang luar biasa dan berani, bahkan cenderung tidak inovatif dan strategis.
“Sangat jauh berbeda pola kepemimpinan Massa Manik dengan Dwi Soetjipto. Massa Manik sangat miskin dengan inovasi,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman.
Langkah inovatif yang dilakukan Massa Manik, lanjut dia, yakni hanya dengan menggelontorkan dana segar sebesar Rp 1,4 triliun pada Juli 2017 kepada anak usahanya, PT Patra Jasa.
Patra Jasa yang dipimpin Muhamad Haryo Yunianto ternyata bukan menggunakan dana tersebut untuk merenovasi hotel yang sudah kurang layak dan memanfaatkan aset tanah kosong di lokasi strategis milik Patra Jasa yang bernilai ekonomi tinggi.
“Namun, uang triliunan rupiah tersebut malah digunakan untuk membeli aset-aset properti milik BUMN di Bekasi dan Yogyakarta yang terkabar selama ini sekarat arus keuangannya,” unkap Yusri.
Anehnya lagi, lanjut dia, Patra Jasa pun masuk ke bisnis kapal pesiar dengan alasan mendukung kegiatan parawisata, padahal bisnis itu memiliki risiko tinggi.
“Jelas Massa Manik sebagai komanda tertinggi Pertamina secara etika telah melanggar Presiden Joko Widodo terkait efisiensi anak usaha BUMN,” ujar Yusri.
Massa Manik, tegas dia, telah bertolak belakang dengan presiden dengan terus mendorong anak usaha melebarkan ragam usahanya yang tidak sesuai bisnis utama Pertamina.
“Kalau ini terus terjadi dan didiamkan, Pertamina bisa mengalami periode kebangkrutan yang kedua kali, setelah era kepemimpinan Ibnu Soetowo, yakni di bawah Massa Manik,” katanya.