FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Kasus hukum yang menimpa Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov), benar-benar menghancurkan citra DPR di mata masyarakat.
Pasalnya, rakaian kasus Ketua Umum Partai Golkar ini terbilang panjang dan unik. Mulai dari menang praperadilan, hilang saat mau dijemput paksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga insiden penabrakan tiang listrik.
Atas masalah ini, Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat soal penilaian lembaga legislatif. Meski begitu, Agus mengaku pihaknya tetap berpatokan pada aturan Perundang-undangan yang berlaku.
“Tentunya kalau citra kita kembalikan lagi kepada masyarakat. Tapi kan semua itu tentunya ada kewenangan. Kewenangan kami tentunya juga mempunyai kewenangan-kewenangan yang tentunya di dalam landasan Undang Undang,” kata Politisi Demokrat ini kepada Wartawan di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Senin (20/11).
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat juga menyinggung soal pergantian Setnov sebagai Ketua DPR. Dikatakan Agus, pimpinan DPR menyerahkam sepenuhnya kepada masyarakat dan Partai Golkar sebagai partai tempat Setnov bernaung.
“Kita sekali lagi untuk masalah kasus pak Novanto dalam hal ini penggantian ataupun pengusulan kembali itu adalah kewenangan seluruhnya dari fraksi partai Golkar,” ujar Agus.
Agus menyebut, ada banyak perbedaan dalam setiap kebijakan partai. Ia mengatakan, antara partainya dengan Golkar juga ada persamaan terkait status hukum. Dikatakannya, di Partai Demokrat jika seorang kader menyandang status tersangka dan telah Inkrah atau berkekuatan hukum tetap, maka aturannya sangat jelas harus segera mengundurkan diri.
“Memang di dalam partai itu bermacam-macam. Ada yang statusnya sudah tersangka langsung harus mengundurkan diri, seperti misalnya di dalam partai kami, partai Demokrat itu begitu tersangka kami ada pakta integritas bahwa apabila statusnya tersangka dan itu sudah inkrah tersangkanya, dalam hal ini sudah tersangka, itu harus mundur.” jelasnya.
“Sehingga memang seluruh partai politik itu berbeda-beda. Namun memang di dalam UU MD3 yang ada itu adalah status yang inkra. Yang sudah betul-betul status yang sudah mengalami keputusan final. Namun sekali lagi seluruh partai politik memiliki kebijakan masing-masing,” tambahnya. (Aiy/Fajar)