FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Meldy dan Eva Lumangkun, dua dari ribuan WNI korban kerusuhan 1998 yang tinggal di Amerika Serikat (AS), memutuskan pindah menjadi warga negara yang kini dipimpin Presiden Donald Trump itu.
Langkah ini ditempuh setelah mereka terancam dideportasi dari negara tersebut.
Menurut Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir, pasangan yang sudah tinggal di Negeri Paman Sam selama 20 tahun itu tidak terima keputusan pemerintah AS mendeportasi mereka karena dianggap melanggar keimigrasian.
”Mereka lalu melakukan perlawanan lewat jalur hukum,” tuturnya kepada Jawa Pos saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, kemairn (18/10).
Meldy dan Eva, lanjut dia, mengajukan suaka politik atau pindah kewarganegaraan ke AS karena faktor politik di negara asal melalui hukum yang berlaku di sana.
Pengadilan AS kemudian memutuskan Meldy dan Eva tidak akan dideportasi sampai proses pengajuan kewarganegaraan AS mereka selesai. Saat ini, proses pengajuan sedang berlangsung.
Karena berkaitan dengan proses pindah kewarganegaraan, pihaknya tidak bisa memberikan bantuan apapun kepada Meldy dan Eva.
”Dalam konteks ini, pemerintah enggak mungkin memberikan bantuan kepada WNI yang mau pindah jadi WNA. Kita monitor saja prosesnya,” terang Tata.
Setelah proses pengajuannya selesai, barulah pemerintah AS bisa mengambil keputusan. Jika pengajuan kewarganegaraan Meldy dan Eva diterima, mereka diperkenankan terus tinggal di AS.
Jika pengajuan mereka ditolak, nasib Meldy dan Eva akan sama seperti WNI overstayer lain yang permohonan suakanya ditolak pemerintah AS. ”Jika ditolak ya akan dideportasi,” ucap dia.
Sejak aturan baru mengenai keimigrasian di AS berlaku, puluhan WNI yang tidak memiliki dokumen tinggal di sana masuk daftar deportasi. Termasuk Meldy dan Eva.
Sebelumnya, oleh pemerintah sebelumnya, para imigran gelap termasuk WNI overstayer di AS diperkenankan tetap tinggal di sana. ”Tetapi harus melapor secara berkala ke pihak imigrasi,” kata Tata.
Sejak pemerintah AS menerapkan peraturan keimigrasian baru untuk memperketat border dan memulangkan imigran gelap, perwakilan Indonesia di sana sudah melakulan sosialisasi.
Pemerintah Indonesia juga sengaja mempekerjakan pengacara yang bisa membantu para WNI tersebut jika membutuhkan konseling.
”Khususnya konseling mengenai hak-hak mereka. Bahkan, apabila mereka membutuhkan bantuan terkait dokumen atau fasilitas untuk kembali ke Indonesia, pemerintah siap membantu,” jelas Tata.
Terkait jumlah WNI overstayer yang terancam dideportasi pemerintah AS, dia mengaku belum memiliki data pasti. Saat ini, Kemenlu masih mendata jumlah WNI overstayer yang berada di AS.
”Jumlahnya puluhan. Tapi berapa puluhnya masih terus kami data. Di sana kan ada lebih dari 50 negara bagian. Jadi masih dikumpulkan datanya,” kata dia. (and/oki/fajar)