Ini Alasan Imigrasi Belum Cabut Pencekalan Novanto ke Luar Negeri

FAJAR.CO.ID – Meskipun tak lagi menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP di KPK, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Keamanan diketahui belum mencabut pencekalan terhadap Ketua DPR, Setya Novanto.

Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Agung Sampurno, menerangkan, pencegahan terhadap Novanto menjadi wewenang dari KPK. Karenanya, untuk mencabut pencegahan tersebut, mereka menunggu instruksi dari KPK.

“Pencabutan pencegahan keberangkatan ke luar negeri harus berdasarkan permintaan dari yang meminta. Hingga kini belum ada permintaan pencabutan,” ujarnya kepada JawaPos.com, Minggu (1/10).

Kata dia, yang bertanggung jawab terhadap pencegahan Novanto ke luar negeri adalah KPK. “Sementara Ditjen Imigrasi berwenang untuk melaksanakan permintaan tersebut,” tambah Agung.

Adapun pencegahan terhadap Novanto berlaku selama enam bulan sejak KPK melayangkan surat. Yakni, pada 10 April 2017. Jika dihitung, masa pencegahan tersebut akan berakhir pada 10 Oktober mendatang.

“Untuk enam bulan sejak tanggal permintaan,” jawab Agung saat ditanya kapan masa pencegahan Novanto berakhir.

Sebelumnya, dalam praperadilan dengan pemohon Setya Novanto, hakim tunggal Cepi Iskandar memutuskan mengabulkan sebagian permohonannya. Dia menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap ketua DPR itu tidak sah.

Dalam pertimbangannya, hakim tunggal Cepi Iskandar mengatakan, penetapan tersangka Novanto tidak sesuai prosedur sebagaimana KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun standar operasional prosedur (SOP) KPK.

Hakim berpendapat, penetapan tersangka di samping dua alat bukti juga ada pemeriksaan calon tersangka pada di akhir penyidikan, bukan di awal penyidikan. “Bahwa untuk menetapkan tersangka, penyelidik, dan penyidik harus menghindari tergesa-gesa, kurang cermat yang sering kali tergelincir harkat martabat manusia seperti masa lalu,” kata Cepi.

Selain itu, dia juga menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 tidak sah. Alat bukti yang digunakan oleh penyidik KPK dalam menetapkan Novanto sebagai tersangka merupakan alat bukti dari hasil pengembangan tersangka lain, yaitu Sugiharto dan Irman.

Dia menimbang bahwa alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya. “Menimbang setelah dicermati dari alat bukti yang dimiliki pemohon, tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah,” tuturnya.

Proses pemeriksaan calon tersangka pun menurutnya dapat mencegah terjadinya pelanggaran harkat martabat seseorang yang sesuai dengan hak asasi manusia dan perlakuan sama di muka hukum serta asas praduga tak bersalah.

“Menimbang dari hal-hal tersebut bahwa dengan penetapan tersangka di akhir penyidikan, maka hak-hak calon tersangka dapat dilindungi, untuk mengetahui apakah bukti itu valid apa tidak,” pungkas Cepi. (dna/JPC)