FAJAR.CO.ID – Indeks demokrasi Indonesia (IDI) pada 2016 ternyata mengalami kemunduran, dari 72,82 menjadi 70,09 atau terperosok 2,73 poin. Data ini berdasar penelitian Badan Pusat Statistik (BPS).
Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto, menjelaskan, fakta itu disebabkan penurunan dari berbagai aspek yang ditinjau jika dibandingkan pada 2015.
Misalnya, aspek kebebasan sipil mengalami penurunan 3,85 poin; hak-hak politik 0,53 poin; dan lembaga demokrasi 4,82 poin.
Variabel lain yang mengalami penurunan cukup tajam adalah peran partai politik dan birokrasi pemda. Masing-masing sebesar 6,80 poin dan 5,60 poin.
Sebaliknya, variabel yang meningkat hanya peran kebebasan berpendapat dengan 9,96 poin dan peran DPRD sebanyak 8,36 poin.
’’Indeks 2016 sebesar 70,09 masih termasuk dalam kategori sedang meski ada penurunan kalau dibandingkan pada 2015,’’ ujarnya di kantor BPS, Jakarta, kemarin (14/9/2017).
Meski begitu, pemerintah tidak lantas bisa berleha-leha. Sebab, penurunan tersebut menunjukkan perjalanan demokrasi di tanah air tidak sehat.
’’Perlu mendapatkan perhatian serius karena mengindikasikan bahwa proses transisi demokrasi di tanah air sedikit mengalami langkah mundur,’’ tuturnya.
Peneliti LIPI Syarif Hidayat menegaskan, dari semua variabel tersebut, penurunan peran partai politik (parpol) harus menjadi catatan.
Sebab, sebagai mesin demokrasi, tergerusnya peran parpol membawa dampak bagi aspek lain.
Syarif mengakui, situasi di internal partai saat ini memang cukup kritis. Sistemnya belum berjalan maksimal. Mulai kaderisasi, rekrutmen, hingga di kepemimpinan. ’’Enggak ada sirkulasi elite di parpol. Jadinya 4L, lu lagi lu lagi,’’ katanya.
Karena itu, dia meminta pemerintah dan elite pimpinan mau membenahi sistem di partai. Sebab, penurunan kinerja partai menjadi salah satu indikasi kegagalan demokrasi di sebuah negara.
Sementara itu, Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar Baharudin menuturkan bahwa pemerintah sedang mengupayakan optimalisasi peran partai.
Saat ini, lanjut birokrat bergelar doktor itu, regulasi yang ada memang belum ramah dengan parpol. Imbasnya, keberlangsungan partai diserahkan pada hukum pasar.
Salah satu bentuk tidak adanya proteksi terhadap partai adalah kecilnya alokasi dana yang diberikan negara.
Padahal, di sejumlah negara, praktik itu mulai ditinggalkan. Bahkan, kata dia, Uzbekistan sudah membiayai kebutuhan partai secara keseluruhan sehingga bisa hidup sehat.
’’Sehebat apa pun parpol didesain, tapi ekosistem enggak diperbaiki, sama juga bohong,’’ tegasnya. (far/c14/fat)