FAJAR.CO.ID — Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan anggaran subsidi pupuk relatif konstan dari tahun ke tahun dan hasilnya telah berkontribusi pada produksi.
Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Data Komoditas Kementerian Pertanian, Dr Anna Astrid, di Jakarta, Selasa (12/9/2017), terkait dengan tanggapan pernyataan Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF, Prof Bustanul Arifin, yang menyatakan anggaran subsidi pupuk tidak berkontribusi pada produksi.
“Justru hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyatakan bila subsidi pupuk dikurangi maka akan menaikan harga pupuk dan menurunkan produktivitas padi,” demikian kata Anna di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Anna menegaskan jika dikatakan subsidi pupuk tidak efektif berdasarkan kajian Bustanul pada 2014, sangat tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Sangat disayangkan sang Profesor mengevaluasi kebijakan 2015-2017, tetapi menggunakan data 2014 yang sudah out of the date.
“Karena sejak 2015 hingga sekarang sudah banyak pembenahan dan dibangun sistem online. Kementan sudah mengembangkan Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK, red),” tegas dia.
Selanjutnya, bersama Kemen-BUMN dan Pemda dan Perbankan BUMN mengembangkan Kartu Tani. Saat ini sudah ada 3,5 juta penerima Kartu Tani. Tahun 2018 diterapkan penuh di Pulau Jawa dan tahun selanjutnya di seluruh Indonesia.
“Untuk diketahui sejak 2016 relatif tidak ada keluhan petani mengenai pupuk. Pengendalian dilakukan ketat termasuk pengawalan TNI dan Satgas Pangan sehingga lebih dari 40 kasus pengoplos pupuk sudah diproses hukum,” ujar Anna.
Lebih lanjut Anna menyebutkan berbagai kebijakan dan program Upaya Khusus (Upsus) sejak 2015 hingga sekarang, seperti membangun infrastruktur irigasi, mekanisasi, bantuan dan subsidi benih, pupuk, asuransi, dan lainnya berhasil meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Buktinya produksi padi 2016 sebesar 79,2 juta ton atau naik 4,96% dibandingkan tahun 2015.
“Produksi padi dua tahun terakhir naik 8,4 juta ton setara Rp 38,5 triliun. Demikian juga produksi jagung meningkat,” sebut Anna.
Perlu diketahui, terdapat peningkatan produksi pada 24 komoditas pertanian selama dua tahun terakhir memberi nilai tambah sebesar Rp 171 triliun. Kinerja produksi pangan inilah yang menjadi domain Kementerian Pertanian.
“Ya, silakan profesor meragukan angka produksi, tetapi untuk diketahui PDB Pertanian tumbuh tiap tahun itu kan karena ada nilai tambah output dari produksi,” ucap Anna.
Oleh karena itu, Anna menilai lagi-lagi Sang Profesor kurang paham tentang data impor pangan, tanpa menganalisis lebih mendalam. Faktanya pada 2016 dan 2017 Indonesia tidak impor beras medium. Sejak tahun 2016, pemerintah tidak mengeluarkan izin impor beras medium.
“Bila tidak percaya silakan dicek sendiri ke Kementerian Perdagangan. Impor beras medium pada awal tahun 2016 itu merupakan luncuran dari kontrak impor beras BULOG tahun 2015,” bebernya.
Sesuai data BPS, impor beras Januari-Juli 2017 sebesar 188,6 ribu ton itu adalah bukan beras medium, tetapi beras pecah 100% sebesar 185 ribu ton dan sisanya berupa benih dan beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri.
“Jadi sejak 2016 hingga sekarang Indonesia tidak impor beras, ya, profesor jangan kecewa bila faktanya sudah swasembada beras,” ujar Anna.
Kemudian, Sang Profesor pada artikel Kompas mengatakan bahwa masyarakat awam perlu mempersiapkan mental jika ternyata Indonesia masih akan impor beras lagi, maka statemen Profesor bisa membuat resah publik.
“Saya yakinkan bahwa Indonesia tidak akan impor beras medium,” ucap Anna.
Terkait kesejahteraan petani yang sebagian besar tinggal di pedesaan, Anna menyarankan agar lebih relevan menggunakan data kemiskinan di pedesaan. Tidak benar bila petani dibilang semakin miskin.
“Buktinya data BPS menunjukan angka kemiskinan di pedesaan turun 842 ribu orang atau -4,7 persen yakni semula penduduk miskin di pedesaan Maret 2015 sebanyak 17,94 juta jiwa turun Maret 2017 menjadi 17,10 juta jiwa,” lanjut Anna.
Tentang kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), Anna menilai terlihat tulisan sang Profesor menggunakan tulisan 1 sampai 2 bulan yang lalu, sehingga sudah ketinggalan. Pasalnya, saat ini sudah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/2017 yang mengatur penetapan HET Beras serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/2017 mengatur kelas mutu beras.
Kebijakan ini merupakan langkah berani yang ditunggu-tunggu publik. Dampaknya, konsumen tidak akan lagi membeli beras dengan harga mahal. Dapat dipastikan harga beras stabil dan tidak menekan harga petani karena petani sudah dilindungi dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
“Karena itu, nampaknya Sang Profesor Bustanul sudah mulai pikun. Saran Saya, sang Profesor agar cermat dalam menganalisis data perberasan sehingga tidak berdampak yang mungkin meresahkan publik. Sebaiknya sang Profesor memberikan saran konstruktif untuk kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani,” demikian Anna. (*/fajar)