FAJAR.CO.ID – Komisi II DPR RI dan Komite I DPD RI kompak menekan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk mencabut kebijakan moratorium pembentukan daerah otonomi baru.
Para legislator beralasan bahwa mereka banyak menerima aspirasi masyarakat yang meminta pemekaran daerahnya.
Hal itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi II bersama Mendagri Tjahjo Kumulo membahas daerah otonomi baru dan penyelesaian kasus Kabupaten Mimika di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Rapat turut dihadiri lima perwakilan Komite I DPD yaitu Ahmad Muqowam, Benny Ramdhani, Amir Hartono, Eni Sumarni, dan Eni Khairani.
Ketua Komisi II DPR, Zainuddin Amali, mengatakan, sengaja mengundang Tjahjo lantaran pihaknya seringkali menerima aspirasi masyarakat yang meminta pembentukan daerah otonomi baru. Karena pembentukan daerah otonom baru merupakan kewenangan pemerintah, pihaknya hanya menampung aspirasi tersebut.
“Yang sempat dikatakan itu ada 288 calon daerah otonom baru. Bahkan yang berkembang malah bisa mencapai tiga ratusan daerah otonom baru. Itu aspirasi masyarakat yang harus dihormati,” ucapnya.
Politisi Golkar ini paham, sejak Agustus 2015, pemerintah memberlakukan moratorium alias penghentian sementara untuk pembentukan daerah otonomi baru. Namun, pihaknya ingin pemerintah mencari jalan keluar agar aspirasi masyarakat yang diterimanya dapat diperjuangkan.
“Kami berharap ada jalan keluar sehingga aspirasi yang kita kembangkan ini bisa dapatkan tempat, baik di DPR, DPD, maupun Pemerintah,” kata Zainuddin.
Ketua Komite I DPD, Ahmad Muqowam, juga bersuara. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mendesak Tjahjo mencabut moratorium pemekaran daerah.
Muqowam menuding, kebijakan moratorium pemekaran tidak sejalan dengan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Dengan moratorium itu, sama saja pemerintah tidak sungguh-sungguh mengimplementasikan otonomi daerah.
“Pemerintah harusnya letakkan otonomi daerah dan pemekaran sebagai kebijakan strategis untuk ciptakan masyarakat adil dan makmur. Kalau ini dilaksanakan, ini sejalan dengan Nawacita Jokowi-JK dalam melakukan pembangunan dari daerah pinggiran,” jelasnya.
Tak sampai di situ, dia juga menuding bahwa kebijakan moratorium tidak aspiratif terhadap kepentingan daerah untuk mendapatkan hak konstitusionalnya. Padahal, banyak daerah yang mendesak dilakukan pemekaran.
Papua dan Papua Barat contohnya. Menurut Muqowam, jika ada calon daerah otonom baru yang memenuhi persyaratan, harus diberi kesempatan untuk dimekarkan.“Jadi, Pak Tjahjo, saya mohon dengan hormat, buat sejarah di republik ini.
Kalau moratorium, nanti malah jadi morat-marit. Jangan menjadi PHK, (alias) pemberi harapan kosong. Kalau bicara rasanya, mendagri ini friend (kawan) saya. Tapi, kenapa ini dihalang-halangi terus,” katanya.
Anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Komarudin Watubun, juga ikut bicara. Menurutnya, kebijakan moratorium pemekaran daerah tidak berdasar.
“Saya kira tidak ada alasan Pemerintah untuk lakukan moratorium. Undang-undang kan tidak bisa dimoratorium. Saya kira tidak pas moratorium ini,” katanya.
Menurut Komarudin, tujuan pemekaran ini adalah agar tercipta pemerataan keadilan, bukan cuma bagi-bagi kue kekuasaan. Makanya, dia berharap ada pembahasan serius untuk membatalkan moratorium ini.
“Kalau (moratorium) dengan alasan bebani APBN, saya tidak setuju. Membangun rakyat adalah kewajiban negara. Kalau dianggap membenani, tidak boleh berpendapat seperti itu karena negara harus hadir di situ,” ujarnya.
Menjawab hal tersebut, Tjahjo mengingatkan bahwa moratorium sudah tiga tahun jadi pembahasan bersama antara pemerintah, DPR, dan DPD. Kemendagri mencatat, jika ditotal, ada 315 usulan yang meminta daerahnya dimekarkan. Dia menolak jika pemerintah disebut tidak pro pada pembangunan daerah hanya gara-gara ada moratorium itu.
“Arahan presiden pada dasarnya menyetujui jika mempercepat kesejahteraan rakyat, peningkatan pelayanan publik, peningkatan daya saing, dan kinerja aparatur negara,” bebernya.
Tjahjo kemudian memastikan bahwa pemerintah tidak menghalang-halangi pemekaran daerah. Hanya saja, anggaran negara saat ini tidak memungkinkan untuk membentuk otonomi baru. Sebab, untuk membentuk satu daerah otonomi baru saja butuh anggaran ratusan miliar rupiah. (wah/rmol/fajar)