Masa jaya media cetak di Amerika Serikat kini tinggal kenangan. Sekitar 1980-an, boleh dibilang booming media cetak di hampir semua negara bagian AS.
==========================
Oleh: Sukriansyah S. Latief
Wartawan Senior Harian FAJAR
==========================
PENGHASILAN media cetak sangat besar dari iklan, karena roda perekonomian Amerika begitu kencang berputar. Budaya konsumtif masyarakat sejak 6 dasawarsa lalu mendorong naiknya omzet iklan dan keuntungan bagi media cetak di Negeri Paman Sam itu. Namun, di akhir tahun 1990, keadaan berbalik, ekonomi mulai guncang, dan kian terasa dalam 5 tahun terakhir ini. Kini, satu per satu, media cetak di Amerika meradang. Setiap minggu, ada saja media cetak yang memutuskan hubungan kerja dengan karyawanya, dengan alasan efisiensi.
Menurut Profesor Robert Jensen Ph.D, staf pengajar dari Universitas Texas di Austin, salah satu penyebab runtuhnya media cetak di Amerika adalah berkurangnya pemasangan iklan di media akibat perekonomian yang keropos. Sejak 6 dasawarsa Amerika telah menikmati masa jaya dengan tingkat perekonomian masyarakat yang sangat tinggi. Tapi hal ini membuat rakyat Amerika menjadi konsumtif. Mobil mesti diganti tiap tahun, dengan model yang terbaru dan mahal. Demikian juga rumah, dan semua hal-hal yang berbau konsumtif. Akibatnya, beberapa puluh tahun kemudian terjadi krisis ekonomi, yang salah satunya disebabkan kredit macet. Banyak perusahaan yang biasanya memasang iklan bangkrut, media pun menerima dampaknya.
”Selain itu, juga karena bangkrutnya Amerika akibat harus mengeluarkan banyak uang untuk membiayai perang di Irak dan Afghanistan,” jelas Jensen, yang mempersalahkan mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush, yang dalam masa pemerintahannya melakukan perang di kedua negara tersebut.
”Kejayaan Amerika telah lewat. Ekonomi dan budaya Amerika sudah mati. Ini karena Amerika selalu mau spektakuler, mengisolasi diri dan mau hidup terpisah dengan negara lain,” kata Jensen sembari beberapa kali memukulkan kepalan tangannya di meja. Ia memang dikenal sebagai profesor yang sangat kritis di Texas, bahkan di Amerika sekalipun.
”Amerika sekarang lemah, inilah saatnya kalau Anda mau menjajah Amerika,” tambahnya. Namun begitu, dia juga mempersalahkan media, yang tidak kritis dalam masa kepemimpinan Bush. Setelah peristiwa besar perang Vietnam dan kasus ‘Watergate’, dia melihat tidak ada lagi media yang sangat kritis dan melakukan laporan investigasi mendalam untuk memperbaiki pemerintahan Bush.
”Ini tentu mahal. karena harus melakukan investigative reporting,” jelas Jensen, yang juga mengungkapkan bahwa penyebab lain ‘terjun’-nya oplah media cetak karena perkembangan media elektronik yang sangat cepat, dalam hal ini online dan televisi. ”Iklan baris di media cetak, banyak yang lari ke online,” katanya.
Hal sama juga disampaikan Steve Proctor, Managing Editor Harian The San Fransisco Chronicle (The Chronicle), di San Fransisco, California. Menurutnya, masa jaya media cetak Amerika telah tiada. Ketika ‘booming’, media cetak menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Perusahaan bertumbuh, menerima karyawan sebanyak-banyaknya, membuka biro di mana-mana, menulis berita perjalanan yang biayanya besar. ”Itu karena penghasilan media sangat besar dari iklan. Tapi sejak akhir tahun 1990 keadaan berbalik, dan 5 tahun terakhir ini sudah terasa sulitnya bisnis media cetak,” kata Proctor yang bergabung dengan ‘The Chronicle’ sejak 2003.
Selain faktor Bush, menurut Proctor, hal ini lebih karena pengaruh krisis keuangan (subprime mortgage) yang menyebabkan banyak perusahaan pemasang iklan tutup. Selain itu, perkembangan teknologi dengan adanya online, juga membawa kerugian besar bagi media cetak. Media online berhasil menarik banyak iklan baris yang selama ini merupakan salah satu penghasil uang dari media cetak.
Hal ini membuat media cetak mesti konsolidasi, dilakukanlah efisiensi, dari sisi jumlah karyawan, dan juga pengeluaran operasional. Proctor tak ingin menyebut media cetak di Amerika di ambang kebangkrutan, ”Tapi kita kehilangan banyak uang,” jelasnya. Menurut Wally Dean, Broadcast Director dari Committee of Concerned Journalists (CCJ), di Washington DC, runtuhnya media cetak di Amerika lebih karena perkembangan teknologi. Orang lebih mudah dan murah membaca berita di online.
”Lahirlah generasi Backpecker, yang lebih mudah membaca berita melalui laptop,” kata Dean yang pernah bergabung selama 14 tahun di CBS News. Alumnus Universitas Nebraska Lincoln itu melihat perkembangan teknologi telah mengubah gaya hidup, termasuk dalam menyikapi media.
Dia mengambil contoh di Afrika, yang melakukan lompatan teknologi. Di Afrika, orang tidak lagi menggunakan laptop, tapi langsung memakai telepon selular untuk membaca berita melalui online. Shane Hensinger, seorang blogger dari Institute of International Education di San Fransisco, mengaku salah satu penyebab turunnya pembaca media cetak karena adanya blog-blog yang dimiliki para blogger.
”Tapi ini kecil pengaruhnya,” kata lulusan New York University. Alasan yang membuat orang berpaling dari media cetak ke blog, menurut Hensinger, karena berita-berita di blog lebih cepat dan terbuka. Sementara di media cetak di Amerika, sejak dipimpin Bush ditekan untuk tidak memuat berita-berita yang mengkritisi pemerintah, seperti kasus korupsi di Irak, atau kecurangan pemungutan suara di Ohio.
”Soal ini blogger lebih cepat dan berani memuatnya,” katanya. Jadi dengan blog, pembaca mempunyai alternatif sumber berita, karena selama Bush terjadi konglomerasi media menjadi milik 5 perusahaan besar di Amerika. ”Ini bukan monopoli tapi kebijakan Bush melalui Komisi Komunikasi menyebabkan lahirnya konglomerasi media,” kata Hensinger. Soal ini dipertegas Heidi Blobaum, Web Producer & Editor Link TV di San Fransisco.
Menurutnya, media di Amerika ada yang beraliran kanan atau konservatif , yang condong menyuarakan Partai Republik. Ini misalnya bisa dilihat di Fox News, Wall Street Journal, Washington Times, atau New York Post. Sementara yang beraliran kiri atau liberal, sering menyuarakan Partai Demokrat, seperti MSN BC, PBS TV, Washington Post, New York Times, atau LA Times. ”Sementara kami di Link TV mencoba menyuarakan kedua-duanya,” kata Blobaum. Sementara itu, menurut Ray Hartmann, CEO St Louis Magazine, di Missouri, salah satu penyebab banyaknya media yang merugi di Amerika karena krisis keuangan yang melanda negeri itu.
Selain itu, juga karena berkembangnya media online, yang menarik banyak iklan, khususnya iklan baris, dari media cetak. Hal lain, lanjut Hartmann, adalah kepemimpinan Bush yang membuat negara itu kehilangan banyak uang, karena adanya perang Irak. ”Banyak orang Amerika muak dengan Bush. Tidak ada hak Amerika masuk ke Irak. Irak tidak pernah menyerang Amerika. Saya tidak takut,” tegas Hartmann soal pernyataannya itu. Dia memang sering mengecam kebijakan Bush, bahkan sampai di salah satu acara televisi publik, PBS TV, yang diasuhnya.
Menurut Hartmann, sebenarnya sudah lama orang Amerika tidak menyukai Bush. Kemenangan Bush melawan John Kerry pada Pemilu Presiden yang lalu, hanyalah karena Bush menakuti-nakuti rakyat Amerika bahwa bila bukan dia yang berkuasa, maka Amerika akan diserang negara lain dan secara ekonomi akan mundur. Dan meski Bush terpilih, tapi ia hanya menang tipis mengalahkan Kerry. ”Seandainya waktu itu lawannya Obama, maka 70 persen akan memilih Obama,” kata Hartmann. ”Saya sangat malu dengan kasus Guantanamo,” tambahnya. Hal sama dikatakan Jerry dari Pusat Keadilan Sosial dan Perdamaian di Syracuse. Dia bersama beberapa temannya dari LSM itu akan berdemo ke New York City pada Maret, dan ke Washington DC pda bulan April, untuk menentang perang dengan tuntutan Amerika mesti menarik pasukan dari Irak dan menutup Guantanamo. Saking tidak sukanya mereka pada Bush, Jerry dan beberapa LSM lainnya membuat PIN berwarna hitam bertuliskan: ‘Jail Bush: Treason, Fraud, Corruption, Murder’. Sementara Barrie H. Gewanter, Chapter Director dari New York Civil Liberties Union (NYCLU) di Syracuse, yang bekerja untuk melindungi demokrasi mengatakan, dalam masa pemerintahan Bush, informasi publik sering dihambat.
”Tidak ada kebebasan informasi,” jelas Gewanter, makanya dia tetap berjuang dengan alasan: ‘Because freedom can’t protect itself’. Sedangkan Obama, bagi dia, cukup terbuka dalam memberi informasi publik. Soal media cetak, Hartmann yang juga sebagai pemilik majalah bulanan ‘St Louis Magazine’ beroplah 55 ribu, itu mengaku tidak tahu sampai kapan akan terpuruk. ”Saya tidak tahu bagaimana masa depan media cetak nantinya, tapi ini amat bergantung pada perkembangan media elektronik, online,” katanya.
Sama dengan Hartmann, Proctor juga tak tahu sampai kapan krisis yang dialami media cetak ini akan berakhir. ”Tidak ada orang yang kerja di media cetak di Amerika saat ini yang merasa aman,” ungkap Proctor. Bagaimana sesungguhnya kondisi media cetak lainnya di Amerika Serikat? Ikuti bagian kedua laporan ini. (fajar)