FAJAR.CO.ID – Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menilai, makna toleransi saat ini telah dimonopoli sesuka dan sesuai selera kepentingan politik.
Padahal sejatinya, kesadaran akan keberagaman dan hidup saling menghormati serta merawat toleransi sesama rakyat Indonesia tinggi sekali, bahkan sangat otentik.
“Nah, yang mendestruksi toleransi dan keberagaman kita selama ini, tidak lahir dari masyarakat, namun lahir dari destruksi politik,” jelas Dahnil Anzar Simanjuntak, Selasa (8/8/2017).
Karena itu, bagi Dahnil, laku politisi di Tanah Air belakangan ini sudah masuk pada level yang “memuakkan”, karena cenderung destruktif dan merusak sendi-sendi rekatan sosial antar kelompok, etnis, dan agama. Seperti yang terakhir kasus pernyataan Ketua DPP dan Ketua Fraksi NasDem, Victor Laiskodat.
“Laku politik rente yang menghalalkan segala cara dan mengabaikan kepentingan bersama, telah merusak rekatan sosial kita,” papar Dahnil, yang juga President Religion for Peace Asia and Pacific Youth Interfaith Network (RfP-APYIN).
Misalnya, terang dia, toleransi dijadikan alat politik, orang yang berbeda dan berbeda sikap politik distigmatisasi menjadi kelompok intoleran, demikian sebaliknya. Ada lagi yang menggunakan agama sebagai alat politik, bukan justru meninggikan etika.
“Narasi-narasi intoleran dan miskin etika itu lahir dari isi kepala politisi yang menghalalkan segala cara untuk menang dan berkuasa. Makna toleransi dimonopoli sesuka dan sesuai selera kepentingan politik,” katanya menyesalkan.
Karena itu, dia mengajak semua pihak menghadirkan toleransi yang otentik, toleransi yang melahirkan dialog dan saling hormat menghormati secara tulus, bukan basa-basi politik, apalagi dengan motif rente.
Maka yang harus dihadirkan adalah perilaku meninggikan akhlak politik atau etika politik.
“Stop menghalalkan segala cara untuk menegasikan lawan politik. Politik yang menghalalkan segala cara melahirkan perilaku politisi yang minus etika dan akhlak. Menghadirkan agama sebagai solusi bagi kehidupan sosial dan politik, sebagai perekat sosial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” demikian Dahnil Anzar Simanjuntak. (zul/rmol/fajar)