FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti disemprot DPR setelah mengusulkan agar subsidi solar bagi nelayan dicabut. Atas usulan tersebut, Susi dituding lebih pro kekuatan global ketimbang nasib nelayan kecil di dalam negeri.
Usulan pencabutan subsidi solar bagi nelayan itu disampaikan Susi di sela acara penandatanganan kesepakatan dengan Pertamina di kantornya, Senin lalu. Susi beralasan, nelayan lebih membutuhkan ketersediaan solar di semua daerah ketimbang subsidi BBM. Menurutnya, percuma solar disubsidi jika barangnya langka.
Susi mengaku telah menyampaikan usulan ke Menteri ESDM Ignasius Jonan agar subsidi solar untuk nelayan pemilik kapal ukuran 30 gros ton (GT) ke bawah dicabut. Sebelumnya, Susi sudah menggolkan penghapusan subsidi untuk pemilik kapal di atas 30 GT.
“Keluhan nelayan kepada kami, mereka tidak perlu subsidi. Mereka perlu solar ada di mana-mana. Tolong (subsidi) dicabut, tapi kembalikan solar ada di mana-mana. Karena, itu yang dibutuhkan nelayan. Itu permintaan kami ke Pertamina. Saya mohon ini bisa ditindaklanjuti. Saya akan bicara dengan Pak Jonan dan ingatkan Beliau,” ucapnya, saat itu.
Susi beralasan, subsidi BBM selama ini tidak dinikmati nelayan. Justru pihak-pihak penyelundup yang menikmati subsidi itu. “Nelayan dapatnya BBM 2 tak, solar termahal. Jadi, yang dibayar nelayan itu justru harga termahal,” cetusnya.
Namun, logika Susi ini tidak dapat diterima partai pendukung pemerintah. Politisi PDIP Ono Surono menyebut, kebijakan Susi itu justru bisa membuat publik marah kepada Pemerintah. Publik akan menganggap Pemerintah tidak berpihak pada kesejahteraan nelayan kecil di Indonesia.
“Ini yang kami khawatirkan. Beliau (Susi) lebih mendukung neoliberalisme yang diusung kekuatan-kekuatan global atau asing ketimbang nelayan kita,” kata anggota Komisi IV DPR ini, Jumat (4/8).
Ono merasa, kekuatan global saat ini begitu kuat menekan Pemerintah. Kekuatan itu mendorong agar kebijakan pengelolaan perikanan yang diambil Pemerintah pro-lingkungan dan anti-subsidi kepada masyarakat perikanan.
Untuk kebijakan pro-lingkungan, Ono sebenarnya setuju-setuju. Namun, dia berharap kebijakan tersebut tetap disaring. Sebab, tidak semua kebijakan itu pas untuk dikembangkan di dalam negeri. Banyak kebijakan yang justru merugikan nelayan Indonesia. Kebijakan pelarangan cantrang dan penangkapan bibit lobster misalnya, dianggap tidak cocok diterapkan di Indonesia. Apalagi kebijakan pecabutan subsidi solar bagi nelayan.
Jika subsidi itu dicabut, sambungnya, beban nelayan akan semakin besar. Padahal, pendapatan mereka sedang seret akibat larangan penggunaan penggunaan cantrang dan penangkapan bibit lobster tadi.
Ono kemudian menyitir UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Kata dia, dalam UU itu, secara gamblang diatur bahwa subsisi BBM kepada nelayan diberikan untuk kapal dengan ukuran 30 GT ke bawah. Subsidi ini diatur karena memang mayoritas nelayan di Indonesia adalah nelayan kecil dengan ukuran kapal yang dimilikinya sebesar 30 GT ke bawah.
“Dengan subsidi itu, diharapkan nelayan kecil bisa lebih sejahtera. Sebab, komponen biaya melaut itu 60 hingga 70 persennya adalah BBM,” tambah dia. [ian]