FAJAR.CO.ID – Situasi yang memanas saat ini bermula dari serangan tiga warga Palestina pekan lalu yang mengakibatkan dua polisi Israel tewas. Masjidilaqsa langsung ditutup.
Itu adalah penutupan kali ketiga yang dilakukan Israel. Dua lainnya dilakukan pada 1967 dan 2014.
Bagi Palestina, sikap Israel ini tak bisa ditolerir. Telah jelas ketika Israel datang dan menduduki Jerusalem Timur pada 1967, ada kesepakatan bahwa umat muslimlah yang berkuasa di Haram esh-Sharif, wilayah tempat Masjidilaqsa berdiri. Umat Yahudi boleh datang, tapi tidak boleh beribadah di dalamnya.
Buntut penutupan kali ini mengakibatkan bentrokan beberapa kali. Puluhan penduduk Palestina terluka. Sekitar 50 orang terluka pada Senin malam (17/7) dan 14 lainnya pada bentrokan keesokan harinya.
Seorang warga Palestina, Rafaat Al Herbawi, tewas dalam bentrokan saat protes.
Selasa (18/7/2017), lima di antara delapan gerbang menuju Masjidilaqsa dibuka dan dipasangi pendeteksi metal, termasuk gerbang Lion.
Meski demikian, warga Palestina tetap memprotes. Sikap mereka jelas. Mereka tidak mau melewati pendeteksi metal yang dipasang Israel di Masjidilaqsa. Itu sama artinya digeledah, padahal hendak masuk rumah sendiri.
Bagi Palestina, pendeteksi metal adalah penghinaan. Mereka menuding Israel berusaha mengambil alih masjid tersebut. Karena itu, Selasa (18/7) Presiden Palestina, Mahmod Abbas, menyerukan Day of Rage sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap kurang ajar Israel.
Abbas meminta seluruh warganya di wilayah pendudukan Israel untuk turun ke jalan, kemarin (19/7), sebagai aksi protes. Aksi dimulai di Qalandia, Tepi Barat, menuju pos-pos pemeriksaan milik Israel.
Aksi serupa juga diserukan Hamas di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Pemerintah Israel pun langsung meningkatkan keamanan di berbagai titik.
“Semakin lama Israel menunda menghilangkan pendeteksi metal itu, situasi bakal semakin buruk,” ujar Kepala Waqf, Sheikh Azzam Khatib Tamimi. Waqf adalah otoritas yang mengelola Masjidilaqsa.
Sheikh Tamimi juga menyerukan kepada imam semua masjid di Jerusalem agar ramai-ramai datang ke Masjidilaqsa dan melaksanakan salat di luar gerbang. Seruan itu langsung disambut dengan kedatangan warga Palestina dan para imam masjid di gerbang Lion dan Damaskus.
Bagi yang tidak bisa ke Masjidilaqsa, faksi militan Fatah, yaitu Tanzim, meminta kepada seluruh umat muslim Palestina untuk tak menggelar salat Jumat esok di dalam masjid, melainkan di alun-alun dan ruang terbuka lainnya. Aksi itu didedikasikan untuk Masjidilaqsa.
Langkah pengamanan Israel juga dikecam oleh beberapa negara muslim. Salah satunya, Turki.
“Penutupan Masjidilaqsa untuk para jamaah oleh Israel tidak bisa diterima. Itu adalah kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan melawan kebebasan untuk beribadah,” ujar Waki Perdana Menteri Turki, Numan Kurtulmus.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menanggapi dingin protes tersebut. Dia tahu bahwa warga Pelestina tidak senang dengan adanya pendeteksi metal di Masjidilaqsa. Tapi, menurut dia, itu penting untuk mencegah aksi teror kedepannya.
“Langkah yang kami lakukan itu penting. Termasuk kamera pengaman yang rencananya kami pasang di sekeliling area itu,” kata Netanyahu.
(aljazeera/anadolu/washingtonpost/sha/c7/any/jpg/fajar)