FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Keputusan pemerintah memblokir Telegram bukan hanya terkait masalah terorisme dan radikalisme.
Tapi, juga secara tidak langsung ancaman bagi penyedia aplikasi lain yang tidak patuh pada pemerintah bisa saja diblokir. Kepentingannya bukan hanya soal keamanan tapi juga keuntungan ekonomi.
Ancaman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir situs-situs mengancam keamanan negara bukan isapan jempol semata. Telegram merasakannya sendiri Jumat (14/7) lalu.
Plt Kepala Biro Humas Kominfo Noor Iza mengatakan, proses pemblokiran tidak dilakukan serta merta. Mereka sudah menghubungi penyedia Telegram sejak Maret 2016.
Sepanjang 2016 bukan hanya sekali Kominfo setidaknya empat kali mengirimkan email berisi permintaan untuk meningkatkan layanan keamanan.
”Kominfo tercatat telah mengirimkan notifikasi request melalui email sejumlah enam kali email. Yaitu pada 29 Maret 2016, 20 Mei 2016, 8 Juni 2016, 5 Oktober 2016, 8 Januari 2017 dan 11 Juli 2017. Email yang dikirimkan kepada Telegram juga tidak dibalas,” kata Noor Iza kepada Jawa Pos kemarin (16/7).
Menteri Kominfo Rudiantara menyebut punya setumpuk bukti lembaran kalau telegram berisi konten propaganda radikalisme dan terorisme. Mulai dari cara buat bom, ajakan untuk masuk ISIS, hingga seruan-seruan untuk melakukan aksi terorisme.
“Ada 500 hingga 700 halaman bukti. Puncaknya akhir-akhir ini makin banyak. Kan tidak bisa menunggu jadi lebih banyak lagi. Sudah cukup,” ujar Rudi saat perjalanan kunjungan kerja bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Padang, Sabtu (15/7).
Telegram menjadi pilihan para pelaku teror dan penyebar paham radikal karena dianggap lebih aman dan susah dilacak.
Dalam websitenya, Telegram bahkan mengiming-imingi hadiah USD 200 ribu (sekitar Rp 2,6 miliar) bagi hacker yang berhasil menemukan celah keamanannya.
Rudi menambahkan Kominfo punya data statistik sepanjang 2016-2017 hanya sekitar 50 persen permintaan untuk penghapusan konten radikal yang dipenuhi. Dia menyebutkan angka tersebut terlalu rendah.
”Kalau 90 persen make sense lah karena mereka mengatakan, kan kebanyakan di AS jadi harus lewat pengadilan dulu,” ujar pria yang pernah berkarir sebagai Komisaris Independen di PT Telekomunikasi Indonesia.
Pada 14 Juli lalu pukul 11.00, Kominfo mengirimkan permintaan kepada para Penyelenggara Jasa Akses Internet untuk melakukan penutupan akses layanan Telegram Channel.
Setidaknya ada 11 domain name system (DNS) Telegram yang tak bisa diakses. Yakni Kesebelas DNS milik Telegram itu adalah t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org.
Penutupan itu sekaligus juga menjadi peringatan bagi penyedia konten digital lain termasuk media sosial untuk memperbaiki sistem pelayanan keamanan.
Rudi bahkan sudah memperingatkan Facebook dengan mengirimkan seorang pejabat ke kantor Facebook pada Juni lalu. Peringatan serupa untuk perbaikan sistem keamanan juga diserukan ke penyedia Youtube dan Twitter.
Kemarin (16/7) ada rilis resmi CEO Telegram Pavel Durov terkait pemblokiran tersebut melalui chanel telegramnya. Dia mengaku agak kecewa karena Kominfo melakukan pemblokiran terhadap Telegram.
Dia juga baru menyadari bahwa ternyata Kominfo sudah beberapa kali mengirimi Telegram email terkait konten radikalisme.
Sayangnya, tim Telegram memang tidak bisa memproses rekues tersebut secara cepat. Lalu kemudian Kominfo melakukan pemblokiran.“Hal ini yang kemudian memicu miskomunikasi dengan Kominfo,” tulis Durov.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Durov menuturkan sudah melakukan tiga hal. Yakni menutup chanel yang berkaitan dengan teroris seperti permintaan Kominfo; dia sudah membalas email Menteri Kominfo yang berkaitan dengan langkah yang lebih efektif untuk memblok propaganda teroris; dan mengusulkan untuk membuat tim moderator yang memiliki pengetahuan tentang bahasa dan kultur Indonesia.
“Saat ini, kami sedang membuat tim moderator yang memiliki pengetahuan tentang bahasa dan budaya Indonesia untuk bisa memproses laporan terkait terorisme lebih cepat dan akurat,” kata Durov.
Sore kemarin (16/7), situs telegram.org yang sebelumnya diblokir sudah bisa dibuka. Tapi, tidak semua provider membuka blokir tersebut.
Rudi mengungkapkan dia sudah menerima permintaan maaf dari Durov. Menurut Rudiantara, Durov tidak menyadari adanya beberapa kali permintaan dari Kominfo sejak 2016. Durov juga telah menindaklanjuti yang diminta oleh Kominfo dan mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negtif khususnya radikalisme/teorisme.
“Saya mengapresiasi respon dari Pavel Durov dan Kementerian Kominfo akan menindakanjuti secepatnya dari sisi teknis detil agar SOP bisa segera diimplementasikan,” kata Rudi.
Rudi juga memperingatkan bahwa para penyedia konten digital, bukan hanya Telegram, itu berbisnis di Indonesia. Bisnisnya tidak lain adalah iklan. Pada 2015 perhitungan iklan digital Indonesia USD 700 juta.
Masalah pajak dari iklan juga masih menjadi persoalan hingga sekarang, karena penyedia konten digital terutama pemain besar itu banyak berkantor di luar negeri. Sehingga mereka menyetor pajak di kantor pusatnya.
”Dalam urusan bisnis itu butuh stabilitas ekonomi hingga keamanan. Harusnya medsos juga concern, kalau mereka membiarkan ini terjadi jangan-jangan anda memang ingin Indonesia kacau. Ini yang selalu kita minta kepada mereka,” jelas dia.
Sementara itu, Praktisi Teknologi Informasi Donny Budi Utoyo menuturkan dalam urusan konten digital itu keamanan memang menjadi isu yang sangat serius. Dia menyebut kedaulatan keamanan itu berkaitan dengan kepentingan data masuk dan data keluar yang harus diawasi. Data keluar itu seperti data pribadi yang diminta saat membuat akun sosial media atau situs tertentu.
”Data pribadi ini dalam yuridiksi Indonesia. Orang tak sadar data pribadinya diambil oleh negara lain. Servernya kan di negara lain,” ungkap pendiri ITC Watch itu.
Data pribadi itu bisa saja membahayakan negara. Misalnya umur akan bisa memberikan peta berapa orang muda dan tua yang menggambarkan berapa banyak yang siap berperang dan tidak.
”Uni Eropa dan Amerika Serikat sudah punya perjanjian tentang kerjasama data ini. Indonesia belum punya,” imbuh Donny.
Sedangkan untuk data masuk itu termasuk bahaya radikalisme, terorisme, dan pedofilia. Dia menyebutkan ini menjadi kepentingan nasional yang bukan hanya urusan pemerintah.
Tapi juga tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat sipil. Dalam konteks tersebut, menurut Donny tindakan pemerintah untuk memblokir sudah tepat.
”Tapi caranya dan implikasinya yang tidak dibicarakan terlebih dahulu. Perlu ada mitigasi risiko agar isu tersebut tidak diseret ke ranah lain, politik misalnya,” ujar dia. (and/jun/wan)