FAJAR.CO.ID – Industri surat kabar di ambang putus asa melawan duopoli Google dan Facebook. Apa yang harus penerbit koran lakukan agar bertahan? Sementara internet sudah menjelma menjadi kebutuhan primer.
Facebook dan Google adalah kawan sekaligus lawan bagi koran. Koran butuh Facebook dan Google untuk memperluas jangkauan pemberitaan dan iklan seiring merosotnya bujet iklan untuk media cetak dan menurunnya jumlah pelanggan.
Tetapi, langkah itu justru membuat Facebook dan Google seolah tak memberi ruang bagi pihak lain dalam industri yang sama untuk bernafas.
Dua raksasa teknologi asal Amerika Serikat tersebut mengendalikan USD 0,70 dari setiap duit yang dibelanjakan untuk iklan digital. Sedangkan USD 0,30 tersedot ke media lain penyedia iklan digital, seperti Twitter, Snapchat, ataupun Verizon-AOL-Yahoo! Bagi perantara pemasangan iklan digital yang lain hanya bisa mengantongi USD 0,01 atau sekitar Rp 130.
Ketidakseimbangan yang besar itu jelas bukan hal bagus bagi perusahaan media untuk memiliki posisi tawar lebih kuat ketika harus bekerja dengan platform tersebut. Di sisi lain, Facebook dan Google tetap membutuhkan media dan konten untuk mengisi platform mereka.
Nah, saat Google dan Facebook menguasai saluran distribusi informasi penting, tentu saja kedua raksasa itu bisa dengan mudah mengantongi kesepakatan terbaik bagi kepentingan mereka sendiri.
Dilema itu memang membuat penerbit surat kabar untuk melakukan hal yang tak lazim.
Pekan ini, di Amerika Serikat (AS) ada News Media Alliance yang meminta kongres untuk ikut menjadi negosiator dalam menghadapi Google dan Facebook. Padahal, News Media Alliance jelas merupakan kekuatan besar. Kelompok itu mewadahi lebih dari 2.000 koran, termasuk New York Times, Wall Street Journal, hingga Washington Post.
Tanpa campur tangan pemerintah, News Media Alliance akan sangat sulit menghadapi duopoli Google dan Facebook. Memang ironis, karena selama ini News Media Alliance getol menyuarakan kompetisi bebas.
Tapi, pada saat menghadapi kekuatan Google dan Facebook, ternyata News Media Alliance pun seolah tak berdaya. Tanpa restu pemerintah, News Media Alliance akan terbentur undang-undang antimonopoli.
Hanya saja, upaya News Media Alliance untuk membujuk Kongres AS bukanlah hal mudah. Kongres AS sedang dikuasai Partai Republik yang terlibat hubungan kurang baik dengan media. Industri pers AS pun makin putus asa.
Dalam sebuah tajuk rencana di Wall Street Journal edisi Minggu (9/7/2017), CEO News Media Alliance, David Chavern, mengatakan bahwa selain ancaman dari Google dan Facebook, Presiden AS, Donald Trump, juga tanpa henti mendelegitimasi dan melemahkan pers.
“Satu-satunya cara bagi penerbit untuk bisa menghadapi ancaman yang tak terelakkan ini adalah dengan bersatu,” tulis Chavern. Usulannya adalah menggunakan undang-undang antimonopoli untuk mengisolasi Google dan Facebook dari kekuatan pasar.
Sebagai rujukan adalah Uni Eropa yang pernah mendenda Google hingga USD 2,7 miliar atas dasar tuduhan penyalahgunaan penguasaan pasar. Merujuk pada opini Chavern, keputusan Uni Eropa biasanya bisa melintasi Atlantik dan diadopsi hingga AS.
Penerbit surat kabar memang menjadi pihak pertama yang menyadari perlunya berdamai di antara sesama kompetitor untuk menghadapi Google dan Facebook. Kini, perjanjian untuk berbagi iklan pun makin marak di kalangan penerbit koran di AS.
Mereka merasa perlu kompak untuk menghadapi musuh kelas berat, termasuk mengatur transparansi dalam pengitungan iklan digital, penempatan iklan di web, hingga bagaimana cara menghindari kecurangan.
Marc Pritchard, Chief Marketing Officer Procter & Gamble –perusahaan pengiklan terbesar dunia–pun menganggap masa-masa untuk memberikan umpan bagi iklan digital sudah berakhir.
“Ini saatnya untuk tumbuh. Ini saatnya untuk beraksi,” ujarnya dalam pertemuan Association of National Advertisers pada Januari lalu.
Sedangkan Google dan Facebook dianggap berbasa-basi dengan menjanjikan insentif untuk jurnalisme berkualitas sembari memberi konsesi kecil ke penerbit. Sebagai misal adalah Google yang akan memasang filter iklan pada Google Chrome yang membuat pembaca bisa membayar publikasi secara langsung ketimbang memblokir iklan.
“Kami tetap berkomitmen untuk membantu penerbit menghadapi tantangan dan peluang mereka,” kata juru bicara Google.
Sedangkan Facebook juga sedang mengembangkan model subskripsi berbayar untuk layanan Instant Articles di situs jejaring sosial itu. Petinggi Facebook yang membidangi kerja sama pemberitaan, Campbell Brown, menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk membantu mengembangkan jurnalisme berkualitas.
“Kami membuat kemajuan melalui pekerjaan kami dengan penerbit berita dan punya banyak hal untuk dilakukan,” ujarnya.
Karenanya, komitmen Google dan Facebook itu perlu diuji. Dan penerbit koran kini siap untuk mengujinya.
(mashable/ara/jpnn)