FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Belakangan muncul wacana bahwa rektor harus mendapat rekomendasi dari presiden. Tetapi, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, membantahnya.
Nasir menegaskan, pemilihan rektor sudah sesuai dengan prosedur perundang-undangan, mulai dari Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Kemudian, Peraturan Menteri Ristekdikti nomor 19 Tahun 2017, tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri.
“Jadi tidak ada (rekomendasi presiden). Presiden mengamanatkan ke saya, Pak Menteri jalankan dengan baik,” kata Nasir kepada wartawan usai buka puasa bersama di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra, Jakarta, Sabtu (10/6/2017).
Karenanya, menteri asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengaku bingung saat muncul wacana tersebut. “Jadi ketika muncul itu saya jadi bingung sendiri, ini apa lagi,” katanya.
Dia menegaskan, sistem pemilihan rektor sudah sangat jelas. Pun demikian dalam mengantisipasi calon rektor dari berbagai perbuatan negatif.
Ketika tiga nama calon masuk ke Menristekdikti, Nasir lalu menggandeng lembaga terkait melakukan penelusuran. Misalnya, untuk mengetahui apakah calon rektor ada masalah dengan radikalisme, maka dia menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Untuk mengetahui apakah ada keterlibatan narkoba, Nasir menggandeng Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kemudian untuk menelusuri rekam jejak apakah pernah terlibat rasuah, Nasir menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Pemilihan juga diawasi oleh Komisi ASN (Aparatur Sipil Negara) apakah sudah bekerja dengan baik atau tidak,” kata Nasir.
Dia pun mengatakan, bila menteri berkonsultasi dengan presiden maupun wakil presiden itu adalah hal yang biasa dan normatif, bukan jadi bagian prosedur pemilihan rektor.
“Jangan salah tafsir, sehingga di media jadi ramai. Saya berpikir ini ada apa lagi? Di mana yang tidak transparannya,” tuturnya. (boy/jpnn/fajar)