FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Harga rokok bakal naik 20 persen. Kenaikan harga rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan naik lagi 10 persen pada 2024 mendatang.
Pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok. Kenaikan ditetapkan sebesar 10 persen pada tahun depan dan 2024.
Artinya, kenaikan akan bervariasi sesuai harga. Rokok dengan harga Rp30 ribu, akan menjadi Rp36 ribu.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret keretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret keretek tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
”Rata-rata 10 persen. Nanti ditunjukkan dengan SKM I dan II yang rata-rata meningkat 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik 11–12 persen, serta SKP I, II, dan III naik 5 persen,” paparnya seusai rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis, 3 November.
Presiden Jokowi juga meminta kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, kenaikannya terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
”Hari ini (kemarin, Red) juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektrik, yaitu rata-rata 15 persen dan 6 persen untuk HPTL. Ini berlaku setiap tahun naik 15 persen selama 5 tahun ke depan,” ungkapnya.
Dalam penetapan CHT, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek. Mulai tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Serta, memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10–18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020–2024.
Pertimbangan lainnya adalah konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga miskin terbesar kedua setelah beras. Bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
”Yakni, mencapai 12,21 persen untuk perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan. Ini adalah tertinggi kedua setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam serta tahu dan tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan masyarakat,” terangnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel merilis tingkat inflasi tahunan Sulsel (Oktober 2022 terhadap Oktober 2021) tercatat 6,12 persen. Ini berdasarkan sampel gabungan lima daerah di Sulsel, yakni Bulukumba, Watampone, Makassar, Parepare, dan Palopo.
Rokok alias tembakau menjadi salah satu barang yang sangat signifikan terhadap angka inflasi Sulsel. Dari lima kota indeks harga konsumsi (IHK), inflasi yoy tertinggi terjadi di Parepare sebesar 7,66 dengan IHK sebesar 114,90 dan inflasi yoy terendah terjadi di Bulukumba sebesar 4,70 dengan IHK sebesar 112,83.
Inflasi terjadi karena adanya kenaikan indeks harga pada 10 kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau (6,74 persen). Kelompok pakaian dan alas kaki (3,03 persen).
Kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga (2,77 persen). Kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga (4,96 persen). Lalu kelompok kesehatan (2,53 persen)
Berikutnya kelompok transportasi (19,17 persen), kelompok rekreasi, budaya, dan olahraga (3,13 persen), kelompok pendidikan (2,47 persen), dan kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran (4,33 persen).
Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya (5,44 persen). Adapun kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan mengalami deflasi (0,16 persen).
Komoditas utama penyumbang inflasi yoy pada Oktober 2022, antara lain bensin, angkutan udara, minyak goreng, telur ayam ras, rokok kretek filter, angkutan dalam kota, dan cabai rawit.
“Dengan melihat kondisi itu, pangan pokok akan naik, akan diperparah jika stok tidak stabil,” kata Kepala BPS Sulsel Suntono. (dee/c14/dio/jpg/zuk-dir/fajar)