Potensi Head to Head Ganjar vs Anies

  • Bagikan
grafis capres pilpres 2024 (HARIAN FAJAR)

RAKYAT JATENG, — Pilpres 2024 kemungkinan hanya tiga paslon. Bahkan potensial hanya ada dua paket. Potensi hanya head to head antara Ganjar Pranowo vs Anies Baswedan.

Jika ini terjadi, pilpres akan kembali head to head. Sama seperti Pilpres 2014 dan 2019. Pembelahan memungkinkan kembali tersaji secara diametral jika opsi ini yang terwujud.

Prediksi ini bukan tanpa dasar. Survei politik menunjukkan, hanya Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan yang mencuat dalam peta figur capres. Bahkan, cenderung hanya Ganjar dan Anies saja.

Khusus Prabowo, surveinya cenderung stagnan hingga menurun. Sehingga Prabowo dinilai punya tantangan berat. Tak seperti Ganjar dan Anies yang cenderung naik.

“Apalagi, banyak kelompok pemilih Prabowo yang tadinya bersama di Pilpres, sekarang berada dalam sikap kecewa dengan sikap politik beliau bergabung dengan pemerintahan,” kata analis politik Universitas Hasanuddin (Unhas) A Lukman Irwan, malam tadi.

Bahkan basis pemilih dominan Prabowo sebelumnya, yaitu “Islam bukan nasionalis”, sekarang bergeser dengan hadirnya Anies. Jika melihat peta suara, pemilih Islam modernis juga lebih banyak berafiliasi ke Ganjar Pranowo.

Kecuali jika Prabowo punya satu kekuatan kunci untuk bermain pada wilayah geopolitik dengan menggandeng figur-figur yang kuat di kelompok Pulau Jawa. Hal ini juga menjadi tantangan karena yang diidentifikasi selama ini adalah dengan Puan Maharani.

Sementara koalisi dengan PKB juga dinilai belum cukup kuat. Masih butuh partai lain untuk berbicara banyak mendapatkan modal besar jika ingin menang. Di PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menjadi sosok sentral.

“Jadi tidak ada pilihan lain Prabowo kecuali mencari figur pendamping kuat. Kemudian ia harus mampu melakukan konsolidasi kembali kelompok pemilih,” imbuh Lukman.

Prabowo akan lebih kuat jika mampu menggaet koalisi yang lebih besar, lalu mencari figur yang lebih potensial. Artinya, dengan modal elektorat Gerindra bersama koalisinya, PKB, yang juga memiliki basis besar, itu bisa membuat Prabowo sebagai king maker.

“Dengan pilihan rasionalnya, Prabowo bisa menjadi king maker. Itu lebih peluang dibanding maju jadi capres,” jelas Irwan. Artinya, Prabowo mesti legawa menyerahkan kursi capres kepada figur lain selain dirinya.

Jika Prabowo tidak mampu melewati tantangan itu, ada kemungkinan Pilpres 2024 akan diwarnai dengan head to head, antara Anies dan Ganjar. Sebab PDIP sendiri dinilai akan berpikir untuk memaksakan Puan Maharani. “Secara elektabilitas, Puan dan Prabowo saat ini tidak begitu jauh survei elektabilitasnya,” ujarnya.

Duplikasi Perseteruan

Akademisi FISIP Unhas Adi Suryadi Culla juga menilai ada potensi head to head Pilpres 2019 akan terulang pada 2024. Survei menunjukkan elektabilitas Prabowo cenderung stagnan.

“Berbeda denagan Anies dan Ganjar yang terus menanjak. Kondisi itu bisa kita lihat dari beberapa bulan terakhir ini. Bahkan sejak tahun sebelumnya,” kata analis politik itu.

Secara garis besar, memang jika dilihat dari dukungan partai yang memenuhi syarat Presidential Treashold (PT) 20 persen, itu bisa disimulasikan 4 pasangan. “Itu jika dibagi habis,” katanya.

Akan tetapi, berbicara figur, itu lain lagi. Potensinya hanya tiga. Kemudian bisa lebih mengerucut lagi pada dua calon, sebab suara PT bisa saja membangun aliansi yang lebih akumulatif. Bisa saja ada koalisi “gemuk” pada Pilpres 2024.

Mungkin saja, ada kubu yang bergabung dalam jumlah besar dua sampai tiga kali lipat dari 20 persen. Bisa saja ada partai yang meninggalkan koalisi yang sudah dipoyeksikan.

Di samping itu, jika elektabilitas Prabowo terus stagnan, maka Ketua Umum Partai Gerindra ini akan berpikir untuk maju. Apalagi, ia sudah punya pengalaman tiga kali gagal ada perhelatan Pilpres.

“Dia figur yang selalu kalah. Jadi kelihatannya ia sudah dibayangi juga trauma sejarah. Kalau mau maju akan berhitung sangat berat dan sangat panjang,” ujar alumni S2 dan S3 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.

Kondisinya hampirserupa dengan Pilpres 2014. Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun, juga banyak sekali bakal calon. Tetapi, akhirnya mengerucut dua, yaitu Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-JK. Pada 2019 juga banyak figur muncul di survei, tetapi akhirnya mengerucut juga dua, yaitu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.

“Jadi bayang-bayang Pemilu 2014 dan 2019 bisa saja terulang di 2024,” kata Ketua Dewan Pendidikan Sulsel itu.

Elektabilitas Puan Maharani yang disiapkan PDIP juga sulit terdongkrak. Pada 2014, PDIP juga sempat meragukan Jokowi dan mendorong Megawati Soekarnoputri. Namun, karena elektabilitas, akhirnya PDIP mendorong Jokowi. Kondisi ini juga bisa terjadi dengan melihat elektabilitas Puan.

Yang ramai saat ini justru lebih pada figur bakal calon wakil presiden (capres). Figur itu cukup banyak dan berimbang. Namun, khusus di Sulsel, saat ini yang paling terterima adalah Ridwan Kamil (RK) dan Sandiaga Uno. Termasuk Erick Thohir jika dilihat dari karier birokrasi.

Kemudian dari partai, ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). “Meskipun secara akar rumput tidak terlalu kuat,” kata Adi.

Gerak Naik

Pengamat Politik Unhas Andi Ali Armunanto juga menilai bahwa untuk saat ini hanya tiga figur bakal capres ini paling kuat. Termasuk di Sulsel. Dalam survei, suara Prabowo masih dominan di Sulsel, walaupun terus disusul Anies dan Ganjar dan berpeluang disalip.

Apalagi, tren Prabowo terus menurun, karena ia masih bermain di tokoh pemilih. Justru Anies dan Ganjar yang terus membentuk tim relawan, itu akan membuat elektabilitas mereka terus naik.

Sementara Prabowo lambat melakukan safari. Beda dengan Anies, Ganjar, dan Ridwan Kamil (RK) yang sudah berulang kali safari ke Sulsel. Jadi kalau berbicara cawapres, maka RK yang paling populer untuk saat ini.

Sementara AHY, walaupun populer di media, ia tidak cukup populer di akar rumput. Namun, jika AHY mendapat pasangan yang tepat, tentu akan sama-sama memberi efek elektoral positif. Dengan pasangannya ia bisa membangun sinergi.

Terkait dengan koalisi partai, sepanjang Demokrat, PKS, dan Nasdem bisa menemukan kesepakatan, maka itu akan terwujud. PKS belakangan ngotot dengan figurnya sendiri, menurut Ali itu hanya memperkuat posisi tawar saja.

Termasuk PDIP, antara Puan dan Ganjar. Meskipun Mega punya ambisi mengembalikan trah Soekarno, ia harus kembali melihat realitas juga.

“Sama ketika ia mengalah mendorong Jokowi, bukan ia capres lagi. Jadi dengan melihat itu, bisa jadi 2014 terulang. PDIP justru mengusung Ganjar,” jelasnya. (fajar)

  • Bagikan