Ada Bukti Suami Selingkuh, Jangan Buru-buru Minta Cerai

  • Bagikan
ilustrasi: int

RAKYATJATENG – Di era digital seperti sekarang, rasanya tak sulit menemukan bukti kecurigaan kita jika pasangan berselingkuh. Walau punya bukti yang valid, memutuskan langkah selanjutnya tidaklah mudah.

Jika menuruti emosi, kebanyakan wanita ingin mengakhiri pernikahannya saat itu juga saat tahu suaminya berselingkuh. Namun, sikap reaktif seringkali menghasilkan keputusan yang tidak bijaksana.

Psikolog Irma Gustiana Andirani M.Psi, mengatakan, sepahit apa pun kenyataannya, suami dan istri harus mencoba berkomunikasi kembali dan rekonsiliasi.

“Jangan bersifat reaktif. Marah boleh, tapi jangan reaktif. Cobalah untuk tenang dulu sebelum berbicara. Dengan bersikap tenang sebenarnya kita sudah menang satu langkah untuk ngomong,” ujar Irma.

Sikap reaktif dan impulsif karena dikuasai amarah biasanya akan berdampak pada banyak pihak, biasanya adalah anak.

Setelah tenang, pertimbangkan apakah apa yang akan dibicarakan akan membuat situasi lebih baik atau lebih buruk.

“Walau curiga selingkuh, jangan buru-buru melabrak. Kumpulkan dulu bukti-buktinya. Di era media sosial seperti sekarang sih enggak susah mencari buktinya,” kata psikolog dari Lembaga Terapan Universitas Indonesia ini.

Dalam berkomunikasi, Irma menyarankan untuk menggunakan “I language”, yaitu sudut pandang ‘saya’.

“Misalnya kita bisa mengatakan, ‘Saya tahu mas punya WIL, dan saya sangat sedih. Bukan langsung memojokkan dengan kata ‘kamu begini atau begitu’,” paparnya.

Proses komunikasi ini memang tidak mudah, tetapi sebagai pasangan kita wajib membuka dialog dan mencoba untuk kooperatif.

“Ajak suami untuk menyelesaikan masalah, dibicarakan maunya bagaimana. Kalau diteruskan seperti apa, kalau stuck bagaimana, atau mungkin lebih baik mundur dulu,” kata Irma.

Jika setelah ngobrol tersebut tidak ditemukan kata sepakat, mungkin diperlukan pihak ketiga. Irma menyarankan untuk meminta bantuan konselor atau orang yang bisa memberi pandangan objektif.

“Sebaiknya jangan ke teman karena dia tidak akan objektif. Pilih ke konselor atau kalau lebih percaya ahli agama, boleh juga,” katanya.

Membicarakan persoalan keluarga ini pada keluarga besar, menurut Irma tidak selalu tepat. “Pertimbangkan dulu apakah masalah kita justru akan menambah beban keluarga atau tidak. Tapi kalau ada anggota keluarga yang bisa dipercaya dan membuat nyaman, silakan,” ujarnya. (kcm)

  • Bagikan