Sukses berbisnis, Setya Novanto masuk panggung politik melalui pintu Kosgoro. Masuknya Setya Novanto ke Kosgoro juga mendekatkan dirinya dengan salah satu politisi senior Partai Golkar, Leo Nababan.
================
DILIANTO, JAKARTA
================
DARI perkenalannya itu, Leo mengenal Setya Novanto sebagai sosok yang pandai bergaul dan loyal kepada partai. Sepak terjangnya berjalan mulus, meski Golkar silih berganti ketua umumnya setelah lengsernya Soeharto di era reformasi.
“Saya sudah mengenal Mas Nov hampir 30 tahun. Ia kawan saya di Kosgoro. Dia pun mencoba peruntungan untuk menjadi ketua umum Kosgoro saat pemilihan di Anyer, Banten. Sayang ia gagal,” ungkap Leo kepada INDOPOS.
Sayang, Kosgoro kemudian pecah. Leo dan Novanto bergabung ke Kosgoro 1957 di bawah kepemimpinan Agung Laksono.
“Nah, di Kosgoro 1957 inilah kemudian saya dan Mas Nov dipercaya duduk sebagai salah satu ketua pengurus pusat,” terangnya.
Perjalanan karier Novanto di Golkar, kata Leo, mulai moncer sejak 1999, saat Novanto lolos menjadi Anggota DPR. Jalan Novanto ke pusaran kekuasaan semakin mulus.
Novanto juga dikenal dekat dengan Keluarga Cendana, tempat keluarga besar mendiang Presiden RI Kedua, Soeharto.
Kedekatannya dengan Cendana ikut melambungkan karier politiknya. “Ia dekat dengan Pak Sudwikatmono (sepupu Soeharto, Red),” terangnya.
Selain itu, kata Leo, setelah lengsernya Soeharto, karena memiliki latar belakang sebagai pebisnis dan mampu menghasilkan pundi-pundi uang untuk Partai Golkar, Novanto pun akhirnya dipercaya sebagai Bendahara Umum DPP Partai Golkar.
“Mas Nov itu orang yang pintar melobi. Saya salut. Dia berhasil membawa uang untuk operasional Golkar hingga akhirnya dipercaya sebagai bendahara umum,” ujarnya.
Bahkan, kata Leo, dirinya meyakini tidak ada satu pun kegiatan di Golkar setelah lengsernya Soeharto terselenggara tanpa ada campur tangan Novanto. “Hampir semua kegiatan partai itu ada andil Mas Nov,” ucapnya.
Tetapi, di saat Novanto mulai tersandung banyak kasus hukum dan menuai kontroversial, salah satunya kasus ‘Papa Minta Saham’ hingga akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI, Leo mengaku mulai menjaga jarak dengan Novanto.
“Saya menganggap saat itu Pak Novanto mulai tidak menunjukkan integritasnya sebagai kader yang bersih. Dan saya mulai berseberangan di Golkar.”
Bahkan, saat berhasil memenangkan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar pada 2016, Leo mengaku tak mau ikut bergabung ke dalam kepengurusan DPP Golkar.
“Saya ditawari. Namun sebagai sahabat, saya hanya menjelaskan melalui sms bahwa saya menolak dengan hormat ajakan itu. Karena saya lebih menjunjung tinggi integritas,” ujarnya.
“Saya pun sempat menyarankan agar Mas Nov mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar sejak dirinya mulai diusut dalam kasus dugaan korupsi E-KTP ini. Hal itu demi kebaikan Golkar dan Mas Nov dalam menjalani proses hukum tanpa harus berbelit-belit,” tukasnya.
Meski begitu, Leo melanjutkan, bahwa dirinya tetap mengapresiasi bahwa Novanto adalah satu-satunya ketua umum yang mampu membangun gedung baru DPP Golkar.
“Itu Gedung DPP di Slipi sudah usang sejak zaman Pak Harto. Tidak ada satu pun ketum yang mampu membangun baru. Ya cuma Mas Nov aja yang berhasil memulai pembangunannya saat ini, meski kini harus berurusan dengan KPK dalam kasus E-KTP,” ujarnya.
Ketika disinggung mengenai penahanan Novanto oleh KPK, dirinya juga mengaku tetap mendoakan agar suami dari Deisti itu tabah menjalani proses hukum.
“Meski berbeda politik di Golkar, sebagai teman, saya hanya bisa berdoa agar dia tabah. Mungkin ini adalah jalan yang membuat dia sadar bahwa sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga,” ujarnya.
“Dan saya percaya ini murni proses hukum. KPK tak mungkin menahan tanpa fakta,” tuturnya menambahkan. (***/habis)