FAJAR.CO.ID – Menuver KPK yang super agresif menyeret Ketum Golkar, Setya Novanto, ke penjara, suka atau tidak, terkait dinamika dan peta pertarungan politik jelang Pilpres 2019.
Terlebih kasus Setnov muncul pasca-kekalahan narapidana penista Alquran alias Ahok pada Pilgub DKI Jakarta yang berakibat makin merosotnya elektabilitas Jokowi.
Menurut Ketua Progres 98, Faizal Assegaf, andai Ahok menang di Pilgub DKI, mustahil Istana akan membiarkan Setnov dan Golkar diobok-obok KPK. “Setnov akan diperlakukan istimewa seperti Ketum PDIP Megawati yang diduga terlibat skandal BLBI dan Ketum NasDem Surya Paloh yang disinyalir terkait kasus pemberian kredit Bank Mandiri Rp.160 miliar,” jelasnya lewat keterangan tertulis, Sabtu (17/11/2017).
Kenyataan itu, lanjut Faizal, makin mempertegas bahwa Jokowi bertindak diskriminasi terhadap Parpol koalisi atas dasar kalkulasi dan parameter politik untung-rugi. Di mana kasus-kasus korupsi dijadikan sebagai bargaining politik.
“Wajar bila publik menuding Jokowi telah menjadikan hukum sebagai intrumen kekuasaan untuk menyingkirkan kawan maupun lawan politiknya demi memuluskan ambisinya di Pilpres 2019,” imbuh Faizal yang juga inisiator Presidium Alumni 212.
Bisa jadi, kata Faizal, bila arus desakan publik menuntut KPK menyeret Megawati, Luhut Binsar Panjaitan dan Surya Paloh dalam dugaan kasus KKN, maka Jokowi akan tampil merestui. “Namun sejauh ini pukulan balik tersebut belum dilakoni Golkar maupun kekuatan oposisi.”
Ihwal kasus Setnov sebenarnya menyimpan energi politik destruktif terhadap kekuasaan Jokowi. Langkah politik Jokowi melalui KPK akan menjadi kontradiktif bila desakan Munaslub partai berlogo pohon beringin itu menghadirkan Titiek Soeharto sebagai Ketum Golkar.
“Tentu Jokowi dan mitra koalisinya akan panik. Sebab sudah terbaca, restu Istana kepada KPK mentersangkakan Setnov secara otomatis menargetkan pergantian Ketum Golkar maupun Ketua DPR,” papar Faizal.
Merujuk pada opini yang berkembang, Jokowi telah merestui dua nama pengganti Setnov, yakni Luhut Binsar Panjaitan dan Airlangga Hartarto. Kedua politisi Golkar tersebut selain berada dalam kabinet, juga memiliki hubungan yang kuat dengan jaringan konglomerat taipan.
Sementara di internal Golkar, mayoritas kader dan elitnya mulai kian bergerak mengusung Titiek Soeharto. Titiek merupakan representasi dari aspirasi arus bawah dan sekaligus kekuatan Candana yang diyakini dapat mengembalikan citra Golkar yang kian terpuruk.
“Bila kader Golkar solid mendukung Titiek Soeharto di Munaslub, maka Golkar dapat diselamatkan dari upaya intervensi Istana. Tentu ihwal itu jelas menjadi pukulan telak kepada rezim Jokowi,” tambah Faizal.
Selain itu, kehadiran Titiek sebagai perempuan pertama memimpin Golkar sangat menyegarkan. Akan menjadi magnet politik yang luar biasa. Terlebih Titiek Soeharto dan kekuatan pendukungnya menarik Golkar dari koalisi rezim Jokowi.
Intinya, memastikan Golkar kembali bergabung dengan Gerindra, PKS termasuk kini PAN yang mulai pelan-pelan mengambil jarak dengan Jokowi. Penyatuan kekuatan ketiga partai tersebut juga dapat menarik partai lainnya dan melebur dengan berbagai elemen rakyat yang beropisisi dengan rezim Jokowi.
Hasilnya, Jokowi dengan segala skanario politik liciknya akan terkunci. “Ambisinya untuk melanjutkan kekuasaan di Pilpres 2019 rontok di tengah jalan. Bola panas itu sangat dinantikan oleh rakyat!” tuntas Faizal Assegaf. (*/fajar)