FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Beban keuangan yang ditanggung PT Pertamina (Persero) akibat penugasan BBM Satu Harga dari pemerintah terkesan terus digiring jajaran direksi Pertamina agar seolah-olah tampak murni merupakan tanggung jawab dari Presiden Jokowi. Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman.
“Pertamina yang menanggung beban keuangan Rp 19 triliun hingga kuartal ketiga 2017, dipersepsikan Dirut Pertamina, Elia Massa Manik dalam konferensi pers, Kamis (2/11), bukanlah akibat kinerja perseroan yang melorot,” terang Yusri Usman melalui pernyataan tertulis yang diterima Fajar.co.id, Senin (13/11).
“Sebaliknya, Elia seolah ingin menegaskan, kehilangan pendapatan Pertamina terjadi karena pemerintah enggan menaikkan harga jual premium RON 88 dan solar subsidi tetap,” lanjut dia.
Pernyataan Elia tersebut sangatlah menyesatkan dan tidak pantas diucapkan seorang Dirut perusahaan BUMN yang katanya telah mendunia.
Elia bahkan menilai penyerahan 8 blok migas terminasi termasuk Blok Mahakam kepada Pertamina saat ini belum menghasilkan bagi keuangan Pertamina.
“Akan dibaca publik sebagai bukanlah sesuatu yang istimewa. Pernyataan tersebut sekali lagi terkesan ingin menggiring opini bahwa beban penugasan BBM Satu Harga sejauh ini hanya membebani kinerja dan menggerus pendapatan Pertamina,” katanya.
Padahal, bila mau jujur, keuangan Pertamina selama ini banyak ditopang oleh beberapa blok migas berproduksi yang diserahkan pemerintah. Contohnya, Blok ONWJ (Offshore North West Java) yang baru saja diperpanjang lagi hak operatornya oleh Kementerian ESDM kepada Pertamina, yang tercatat telah banyak menyumbang pemasukan bagi keuangan Pertamina selama ini.
Sebaliknya, Elia mungkin lupa atau barangkali tidak paham bahwa Pertamina selama ini sudah banyak mengeluarkan uang untuk berinvestasi di sektor hulu di luar negeri, baik sebagai Participacing interest saja dan ada juga sebagai operator seperti di blok Algeria Aljazair, blok Murfi di Malaysia, dan lainnya .
Tetapi faktanya, seluruh investasi yang jika ditotal sudah mencapai hampir USD 10 miliar tersebut, ternyata tidak signifikan menopang kinerja keuangan Pertamina, baik dari sisi produksi maupun penerimaannya untuk menutupi biaya investasi.
Bahkan beberapa pembelian saham blok migas itu diduga bermasalah. “Dari beberapa blok bermasalah itu, saat ini ada yang sudah masuk proses penyidikan dan ada yang masih di tahap penyelidikan oleh aparat hukum. Maka bisa jadi proses pembelian saham blok migas di luar negeri ini ikut menyumbang ketidakefisienan bagi Pertamina selama ini,” ucapnya.
Sehingga patut diduga, banyaknya tahapan proses bisnis dari hulu hingga hilir di Pertamina yang tidak efisien akibat dugaan praktek bisnis yang haramlah, yang mengakibatkan Pertamina tidak efisien. Dengan kata lain, penilaian bahwa beban keuangan Pertamina berawal dari penugasan BBM Satu Harga dan subsidi solar tetap, menjadi sangat prematur.
“Apalagi, harga minyak dunia saat ini masih di sekitar USD 54 per barel. Tentu akan muncul pertanyaan, seandainya harga minyak menyentuh USD 100 per barel seperti terjadi di tahun 2012 dan 2013, kemungkinan besar akan bisa membuat Elia terpaksa “lempar handuk,” ucapnya.
Lebih dari itu, tambah Yusri, Elia seharusnya memahami bahwa dia adalah petugas dari pembantu Presiden. Dalam hal ini, Elia adalah petugas dari Menteri BUMN dalam bidang korporasi dan Menteri ESDM dalam bidang kebijakan energi nasional.
“Sebagai petugas, Elia harus tahu tata krama dalam menjalankan korporasi, bukan malah mengedepankan sikap arogan,” tegasnya. (Aiy/Fajar)