FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik di Universitas Gadjah Mada, A. Tony Prasetiantono, menilai, rencana redenominasi (penyederhanaan nilai) rupiah dalam situasi gaduh seperti saat ini justru akan memancing kontraproduktif.
Begitu analisa Tony dalam perbincangan di sela kegiatan Wealth Wisdom di Ballroom Ritz Carlton, SCBD Sudirman, Jakarta, Rabu siang (2/8/2017).
“Meskipun bisa saja pemerintah didukung DPR memasukkan prolegnas (program legislasi nasional), tetapi dengan catatan itu tidak serta merta bisa dilakukan, karena perhitungan sebelumnya perlu waktu tujuh tahun, sementara BI sekarang sudah meralat jadi sebelas tahun. Kalau tujuh tahun, sebelas tahun masih okelah,” ujar Tony.
Hanya perlu diingat, lanjut Tony, redenominasi memerlukan prasyarat kondusivisme, dalam artian situasi harus stabil. Sedangkan yang baru terpenuhi pencapaian laju inflasi empat persen. Ini saja tidak cukup.
“Prasyarat lainnya misal, apakah kita masih cukup yakin tidak ada capital flight, terjadi sesuatu, misalnya politiknya panas. Kita masih kuatir adanya capital flight yang menurut saya prasyarat itu belum terpenuhi,” urai komisaris independen Pertama Bank ini.
“Saya minimal meragukan dalam dinamika seperti sekarang,” tambahnya.
Belakangan muncul pernyataan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa pemerintah batal mengajukan RUU Redenominasi Rupiah ke DPR tahun ini karena alasan belum prioritas.
Menteri Perekonomian, Darmin Nasution, berkilah penerapan redenominasi masih perlu persiapan matang, bukan berarti harus ditunda.
Tony tetap berpendapat, redenominasi bukanlah solusi justru menambah persoalan. Situasi jadi kian gaduh. Ia menyebut saat ini situasi uncertainty (dalam ketidakpastian). Masyarakat jadi berhati-hati melakukan kegiatan perekonomian.
“Perkara kita sudah banyak terutama defisit APBN 2,92 persen terhadap PDB itu perkara besar, kemudian shortfall target penerimaan pajak itu persoalan besar, mendorong pertumbuhan dari 5,0 kalau bisa 5,2 itu saja sudah masalah, meskipun cuma nol koma dua ngos-ngosan, lah kok ditambah wastefull thingking,” kritiknya. (wid/rmol/fajar)