Terkesan Lepas Tangan, Pernyataan Presiden Soal Threshold Dinilai Menggelikan

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Pernyataan Presiden, Joko Widodo, mengenai ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold mendapat respons miring.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, Didik Mukrianto, salah satu yang menanggapi. Menurut dia, pernyataan Jokowi merupakan sebuah pernyataan yang pada dasarnya menyederhanakan persoalan yang berbeda normanya dengan logika dan nalar yang sangat subyektif dan tidak rasional.

“Sungguh menggelikan apa yang disampaikan Pak Jokowi terkait penetapan presidential threshold dalam UU Penyelenggaraan Pemilu,” ujar Didik dalam siaran persnya, Sabtu (29/7/2017).

Jokowi mempertanyakan partai-partai yang menolak presidential threshold untuk Pemilu 2019, tapi tidak mempermasalahkan pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.

Menurut Didik, penetapan presidential threshold dalam Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan Pemilu 2019 sangat berbeda standing norma, logika dan implikasi struktur politik yang melandasinya.

“Akal dan nalar sehat, sangat jelas dapat menjelaskan, bagaimana menetapkan presidential threshold di kala Pileg dan Pilpres dilakukan serentak,” tegasnya.

Hasil Pileg 2014, lanjut Didik, sudah kehilangan legitimasinya dijadikan dasar penetapan presidential trheshold pada Pilpres 2019. Selain sudah dijadikan dasar pada Pilpres 2014, sudah barang tentu penggunaan presidential trheshold bisa menistakan siklus kepemimpinan nasional.

Dengan melandaskan Pilpres 2019 kepada hasil Pileg 2014 memberikan makna bahwa siklus kepemimpinan nasional yang selama ini dalam ketatanegaraan dan konstitusi kita selama lima tahun, akan bisa begeser kepada siklus 10 tahun.

“Tentu kalau ini yang terjadi maka akan melanggar konstitusi kita,” tandasnya.

Sebelumnya Jokowi juga mengatakan bahwa UU Pemilu merupakan produk dari DPR, bukan pemerintah.

“Betul yang disampaikan Pak Jokowi bahwa UU adalah produk di DPR, tapi sepertinya beliau lupa bahwa sesuai dengan konstitusi kewenangan membuat UU dilakukan oleh DPR bersama-sama Pemerintah. Belum lagi publik harus mengetahui bahwa RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah inisiatif Pemerintah. Dan dalam pembahasan pemerintahlah yang sejak awal kekeuh menginginkan presidential threshold 20-25 persen,” sesalnya.

Atas dasar itulah, lanjut Didik, pasca penetapan presidential threshold 20-25 persen, Partai Demokrat merasa perlu menegakkan mandatory konstitusi tersebut sebagai bagian check and balances pelaksanaan dan kinerja pemerintah dalam konteks pengelolaan negara yang berbasis good and clean governance agar tetap berjalan pada jalan yang benar serta tidak melanggar konstitusi.

“Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara tidak perlu kebakaran jenggot dengan subyektifitasnya. Sebagai presiden, sudah seharusnya Jokowi bisa memberikan pembelajaran dan legacy yang baik, cerdas dan punya nilai edukatif apabila ingin menjadi negarawan,” pungkasnya. (rus/rmol/fajar)

 

  • Bagikan