FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Selain bernuansa otoriter, keinginan pemerintah mempertahankan Presidential Threshold (preshold) 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah nasional juga dinilai inkonstitusional.
Pasalnya, preshold hasil pemilu sebelumnya akan dijadikan dasar untuk Pilpres 2019. Pertanyaanya, hasil pemilu mana yang akan digunakan?
“Apakah Pemilu 2014, Pemilu 2009 atau Pemilu 2004? Lantas, apa dasar konstitusional menetapkan PT Pemilu sebelumnya sebagai landasan PT Pemilu 2019? ini jelas rancu,” papar Anggota Pansus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), Fary Djemy Francis, yang juga politisi Gerindra, Kamis (20/7/2017)
Fary mengingatkan, patut dicatat bahwa Pemilu 2019 itu serentak. Itu sebagaimana Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak, di mana Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD akan dilaksanakan di waktu yang bersamaan.
“Jadi kalau ada usualan PT atau preshold 20 persen itu adalah bentuk pembangkangan terhadap amanat Mahkamah Konstitusi (MK),” tegasnya.
Fary juga menilai, keingingan pemerintah bersama partai pendukungnya meminta untuk disahkannya preshold 20 persen adalah pereduksian terhadap posisi dan peranan partai politik.
“Padahal sudah sangat jelas mengatur hal ini. Tidak boleh ada batasan terhadap partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Ini amanat konstitusi,” tegas anak buah Prabowo Subianto itu.
Artinya, lanjut Fary, membatasi peran partai politik melalui regulasi ambang batas presidensial adalah hal yang sangat inkonstitusional, dan berlawanan dengan UUD 1945.
Sebab, adanya ambang batas presiden adalah bentuk nyata merongrong hak demokrasi dan hak konstitusional setiap partai politik dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 6A ayat 2.
“Ini suatu gambaran nyata dari semangat otoriter pemerintah yang bertentangan dengan semangat refomasi yang digemakan Pemerintah setiap saat,” paparnya.
(dms/jpg/JPC)