FAJAR.CO.ID – Industri granit dan keramik domestik makin terjepit akibat derasnya produk impor.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Hendrata Atmoko menyatakan, industri ini belum merasakan perbaikan penjualan pada semester pertama tahun ini.
Kenaikan permintaan justru dinikmati importir keramik. ’’Buktinya, angka impor keramik tercatat mengalami kenaikan signifikan pada 2016 dibandingkan 2015,” tutur Hendrata, Jumat (2/6).
Angka impor keramik pada 2016 mencapai 87 juta meter persegi. Meningkat sekitar 30 persen ketimbang impor keramik sepanjang 2015 sebesar 50 juta meter persegi.
Sebanyak 85 persen keramik impor berasal dari Tiongkok. Sisanya berasal dari Vietnam maupun Thailand.
’’Utilisasi produsen keramik lokal saat ini hanya mencapai 30 persen dari total kapasitas lantaran terdesak impor,’’ ujarnya.
Total kapasitas produksi granit lokal mencapai 30–36 juta meter persegi. Di sisi lain, permintaan granit lokal mencapai 87 juta meter persegi per tahun.
Salah satu kekuatan granit impor adalah harganya yang lebih murah 30–40 persen daripada granit lokal.
Karena kapasitas produksi tidak maksimal, industri granit dan keramik domestik terpaksa mengurangi karyawan.
Ada pula produsen keramik yang memilih menjadi importir untuk menyubsidi silang produksi pabrik yang tidak optimal.
’’Ironisnya, semakin banyak pelaku industri yang menjadi pedagang. Penyerapan tenaga kerja berkurang. Apakah pemerintah mau seperti ini terus?’’ ucap Hendrata.
Untuk itu, asosiasi mengusulkan agar Kementerian Perdagangan membatasi pelabuhan impor keramik, yakni Bintan untuk wilayah barat dan Bitung untuk wilayah timur. Saat ini masih ada 26 pelabuhan yang bisa melayani impor di Indonesia.
”Padahal, biaya produksi naik terus dan harga gas industri juga belum turun. Pemerintah sudah menjanjikan sejak Oktober 2015 lalu,” ujarnya.
Saat ini, pabrik keramik masih harus membayar harga gas senilai USD 9,1 per mmbtu. Padahal, pemerintah telah menjanjikan per 1 Januari 2017 harga gas turun menjadi USD 6 per mmbtu.
Apalagi, harga gas menyumbang 30 sampai 40 persen dari total biaya produksi keramik lokal.
Jika harga gas bisa ditekan sesuai permintaan induatri, hal tersebut mampu meningkatkan efisiensi produksi keramik maupun granit lokal.
’’Jika tidak, dikhawatirkan produsen keramik dan granit lokal akan beralih menjadi importir,” ujarnya.
Hendrata menyebutkan, sebesar 50 persen dari total tenaga kerja di industri granit lokal sudah dirumahkan lantaran penurunan produksi.