SEMARANG, RAKYATJATENG – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menyelenggarakan webinar pengendalian gratifikasi sebagai rangkaian peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, atau Hakordia tahun 2021, Selasa (30/11/2021).
Mengangkat tema “Pengendalian Gratifikasi: Mencabut Akar Korupsi”, webinar tersebut diselenggarakan dengan metode daring yang ditayangkan melalui kanal YouTube KPK RI.
Sejumlah tokoh didapuk sebagai pembicara, salah satunya Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi sebagai penerima penghargaan anti gratifikasi selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2013 dan 2014.
Wali Kota Semarang yang akrab disapa Hendi itu hadir secara daring bersama dengan Wakil Ketua KPK RI Nurul Ghufron, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, Inspektur Jenderal Kemenag Deni Suardini, Kepala Inspektorat Sumatera Utara, Lasro Marbun serta Junior Manager PT KCI Wahyu Listyantara.
Hendi dalam kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa gratifikasi merupakan sebuah budaya yang harus diubah dengan komitmen bersama.
Salah satunya diperlukan contoh-contoh yang diberikan para pimpinan ke bawah, sehingga seluruh elemen dapat memiliki komitmen yang sama dalam pemberantasan korupsi.
“Maka menurut saya kita harus bersama-sama dalam memerangi korupsi. Tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah, jangan hanya dibebankan pada KPK, atau aparat penegak hukum yang lain, tapi menjaga tanggung jawab seluruh warga bangsa,” tandas Hendi.
“Untuk itu kami di Kota Semarang sendiri juga memaksimalkan kanal pelaporan lapor Hendi, sehingga masyarakat bisa aktif melaporkan bila menemukan hal-hal yang perlu penindakan secara tegas,” tegasnya.
Sementara Wakil Ketua KPK RI, Nurul Ghufron, dalam kesempatan tersebut menekankan pentingnya upaya pengedalian gratifikasi dilakukan dalam membangun pelayanan publik yang tidak memihak.
Untuk itu, dirinya pun mendorong adanya peningkatan tata kelola keuangan daerah dan pelayanan publik yang dapat memberikan kepastian pada masyarakat, sehingga tidak terdapat potensi gratifikasi.
“Bahwa ketika banyak gratifikasi, maka pelayanan publik akan pro kepada yang memberi. Nah, adanya pro kepada yang memberi itu yang sebenarnya kita hindari dengan cara melaporkan gratifikasi,” tekan Nurul Ghufron.
“Maka perlu tata kelola mulai dari keuangan negara hingga layanan publik itu bisa berkepastian. Kalau sudah berkepastian, harapannya tidak perlu lagi ada pemberian-pemberian yang bisa mempengaruhi penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan,” tambahnya.
Sementara itu, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menerangkan jika gratifikasi sebenarnya memiliki pengertian yang netral.
Namun bagi penyelenggara negara, gratifikasi dan suap kemudian memiliki perbedaan yang tipis. Untuk itu dirinya menegaskan perlu adanya pelaporan gratifikasi agar kemudian penyelenggara negara tidak terjerat pidana.
“Beda gratifikasi dan suap kalau bahasa anak mudanya beti, atau beda tipis. Untuk itu bagi yang menerima gratifikasi harus melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dan tidak boleh lebih dari 30 hari,” jelas Edward.
“Maka ketika menduduki jabatan publik, penyelenggara negara tidak boleh lagi menerima apapun baik secara langsung, maupun tidak langsung,” pungkasnya. (Sen)