MENJERIT: Seorang petugas tengah mengumpulkan telor di peternakan yang ada di Winong Boyolali Kota. (RAGIL LISTIYO/RADAR SOLO)
BOYOLALI, RAKYATJATENG – Harga telur ayam terjun bebas menjadi Rp 15.400 /kilogram (Kg). Tak hanya itu, pakan ayam juga merangkak naik. Akibatnya bukan untung yang didapat, peternak ayam petelur justru tombok setiap harinya. Peternak ayam petelur semakin menjerit.
Jubir Asosiasi Peternak Ayam Petelur Boyolali, Tukino mengatakan penurunan harga telur sudah dirasakan peternak sejak pandemi Covid-19. Sempat bangkit, harga telur kembali terjun bebas hingga menyentuh angka Rp 15.400/kg. Normalnya, penjualan telur sebesar Rp 19 ribu/kg. Sedangkan harga pakan ayam terus merangkak dan tembus Rp 6.900/kg.
“Harga ayam turun drastis. Masalahnya harga pakan malah naik. Padahal produksi telur kan setiap hari, dan ayam juga harus dikasih pakan terus. Jadi mau tidak mau harus tombok, wong nyawa,” keluh Tukino, di kandang ayamnya di Winong, Boyolali Kota, Jumat (10/9), dikutip dari Jawa Pos Radar Solo.
Anjloknya harga telur ditengarai beberapa faktor. Seperti dampak pandemi berkepanjangan, penerapan PPKM darurat yang membuat banyak warung makan tutup dan berimbas pada penurunan permintaan pasar.
Tak hanya itu, telur ayam infertil atau telur yang gagal ditetaskan dilempar kembali dipasaran. Membuat stok telur bertambah.
“Padahal harga normal Rp 19 ribu/kg. Itu sudah dikurangi obat, makanan dan lainnya. Kalau harganya turun begini, bisa dihitung tomboknya. Seribu ayam bisa menghasilnya 40 kg telur. Itu bisa ratusan ribu untuk tombok pakannya,” ungkapnya.
Sedangkan untuk pakan sebanyak 1,3 ons perekor. Sehingga untuk 1.000 ekor membutuhkan pakan sebanyak 1.300 ons atau 130 kg. Jadi biaya pakan mencapai Rp 897.000 tiap harinya. Sedangkan hasil penjualan telur sebanyak Rp 616.000 per harinya.
Tukino sendiri memiliki 7 ribu ekor ayam petelur. Sejak harganya turun, dia harus tombok kantong dengan rata per harinya mencapai Rp 1.750.000 untuk pakan ayam saja. Belum sampai biaya vaksin, air, obat ayam, gaji karyawan dan operasional lainnya. Sehingga peternak ayam petelur rakyat terancam gulung tikar jika harga tak kunjung membaik.
“Untuk di Boyolali sirkulasi telur sehari rata-rata 15 rit. Atau sekitar 75 ton setiap hari. Masalahnya permintaan memang ada tapi menurun. Padahal telur harus keluar terus karena rawan busuk. Tahannya hanya 10 hari. Saya bahkan sering membuang telur karena busuk, sampai kuintalan,” ungkapnya.
Hal serupa juga dikeluhkan peternak ayam petelur asal Randu, Jelok, Cepogo, Taufan. Anjloknya harga telur dirasakan sejak sebulan terakhir. Harga pokok produksi (HPP) perekor ayam sekitar 20 ribu. Dia sendiri memiliki 10 ribu ekor ayam dengan tiap harinya mengeluarkan pakan sebanyak 1,2 ton.
“Kalau nomboknya Rp 3 juta perhari untuk pakannya saja. Saya harap sih, harga stabil aja. Soalnya kita ternak sendiri aja resiko dah besar. Ditambah pakan naik banyak harganya sampai Rp 7 ribu/kg. Kalau harga tidak stabil, peternak rakyat ya tutup semua,” ungkapnya. (rgl/dam/JPC)