Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti (int)
SEMARANG, RAKYATJATENG – Polemik mahalnya pupuk nonsubsidi yang saat ini banyak dikeluhkan para petani, mendapat tanggapan dari Guru Besar (Gubes) Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti.
Menurut Sucihatiningsih bahwa pupuk nonsubsidi bukanlah tanggung jawab dari pemerintah.
“Pupuk subsidi sebenarnya adalah program pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan membantu petani dalam meningkatkan produktivitasnya. Sedangkan pupuk nonsubsidi adalah untuk perusahaan dan pelaku usaha,” kata Sucihatiningsih, Senin (12/7/2021).
Sucihatiningsih juga menjelaskan bahwa untuk wewenang dan pengguna pun sudah jelas antara pupuk subsidi dan nonsubsidi.
Dalam alokasi dan distribusi pupuk subsidi menjadi tanggung jawab pemerintah, dimana distribusi pupuk tersebut harus sesuai dengan kebutuhan dan tepat sasaran.
“Namun untuk distribusi dan alokasi pupuk nonsubsidi yang bukan merupakan program dari pemerintah, tentu hal ini sudah termasuk di luar kewenangan pemerintah,” jelasnya.
Sementara terkait kualitas, menurut Sucihatiningsih, antara pupuk subsidi dan nonsubsidi merupakan produk yang sama dan mempunyai kualitas yang juga sama.
Pupuk bersubsidi diatur oleh Menperindag harus memenuhi 6 prinsip, yaitu jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu.
“Jadi di aturan tersebut jelas bahwa syarat pupuk bersubsidi salah satunya harus memiliki mutu atau kualitas yang terjamin,” ujarnya.
Dikatakannya, yang membedakan adalah pada harga dimana pupuk bersubsidi memiliki harga yang lebih murah karena disubsidi oleh pemerintah.
“Harga murah pada pupuk bersubsidi bukan berarti memiliki kualitas yang lebih rendah, namun jika memang ditemukan kualitas yang kurang bagus mungkin disebabkan oleh adanya oknum yang mengoplos atau memalsukan pupuk bersubsidi,” tutupnya.
Untuk diketahui, fenomena mahalnya pupuk bersubsidi maupun kelangkaan pupuk bersubsidi tidak lain disebabkan oleh penurunan anggaran untuk subsidi pupuk.
Pada tahun 2021 volume pupuk bersubsidi dialokasikan sebanyak 7,2 juta ton dengan total anggaran sebesar Rp 25,2 triliun. Alokasi tersebut berkurang Rp 4,6 triliun dari anggaran di 2020.
Kebijakan tersebut tentu menuai pro kontra di kalangan masyarakat terutama petani. Padahal kebutuhan pupuk tahun 2021 diperkirakan sekitar 9,1 juta ton dengan anggaran Rp 32,5 triliun.
Dengan kondisi tersebut, jelas menimbulkan kekurangan anggaran sebesar Rp 7,3 triliun untuk tahun 2021.
Untuk mengurangi defisit anggaran tersebut, Kementan mengeluarkan kebijakan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi sebesar Rp 300 hingga Rp 450 per kilogram. (Sen)