SEMARANG, RAKYATJATENG – Menikahkan anak pada usia muda dengan alasan bisa mengangkat perekonomian keluarga, masih ditemui di masyarakat. Namun, itu bukan solusi tepat, karena justru berisiko menimbulkan berbagai dampak, mulai dari masalah kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kematian ibu maupun bayi.
Hal itu dikatakan Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Jawa Tengah Atikoh Ganjar Pranowo, saat menjadi pembicara di acara Webinar bertajuk “Membangun Generasi Berkualitas Melalui Gerakan Jo Kawin Bocah“, Kamis (17/6/2021).
Dilaksanakan secara daring, acara itu juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jateng Retno Sudewi, dan dokter spesialis kandungan Robby Hariyanto.
Atikoh mengajak kader PKK ikut menyosialisasikan gerakan Jo Kawin Bocah (jangan menikah di usia anak). Sebab, menikah pada saat usia masih belia, bisa menimbulkan masalah kesehatan dan berimplikasi pada masalah sosial.
Menurut Atikoh, angka pernikahan dini di Indonesia selama Covid-19 cukup tinggi. Ini berkait dengan berlakunya UU No 16/2019 di mana, batas minimal perempuan menikah ditingkatkan. Mulanya pada UU 1 tahun 1974 batas minimalnya 16 tahun, ditingkatkan menjadi 19 tahun.
Hal ini mengakibatkan, grafik dispensasi menikah yang diajukan oleh perempuan di Jateng pun ikut naik. Dari sebelumnya, 672 permintaan pada tahun 2019 menjadi 11.301 permintaan pada tahun lalu. Sementara permintaan dispensasi menikah pada pria, cenderung stagnan pada angka 1.671 permintaan.
Selain itu, pernikahan remaja pun dipicu kurangnya pemahaman soal hak anak. Seperti faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, kultur, miskin pengetahuan kesehatan reproduksi dan pengasuhan yang permisif.
“Faktor ekonomi misalnya. Seolah-olah ketika dinikahkan mengurangi beban keluarga. Tapi itu adalah penanganan problem instan. Karena kalau dinikahkan di usia muda, psikologi dan ekonominya belum siap,” ujarnya.
Atikoh menyebut, ada risiko besar ketika menikahkan remaja dalam usia yang belum cukup. Di antaranya, kematian ibu dan bayi, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
“Jadi, peran PKK penting dalam pencegahan menikah dini, menurunkan angka kematian ibu dan bayi dan cegah stunting,” urainya.
Cara itu bisa ditempuh dengan berbagai strategi, seperti menggiatkan Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng (5NG), Bina Keluarga Remaja, dan memperkaya pengetahuan tentang pengasuhan anak.
“Aktifkan Bina Keluarga Balita, Bina Keluarga Remaja dalam WA Grup. Di situ kita jangan saling membandingkan tapi saling belajar bagaimana ilmu tumbuh kembang. Dan ingat jangan digunakan WA Grup untuk ghibah,” imbuhnya.
Tak hanya itu, kata Atikoh, pendidikan berperan penting dalam menekan pernikahan usia dini. Anak dengan pendidikan tinggi, biasanya cenderung akan menunda pernikahan hingga usianya cukup.
“Saya selalu menekankan pada anak-anak, kejarlah cita-citamu setinggi mungkin sebelum kamu dapatkan baju pengantinmu,” kata ibu satu anak ini.
Pengalihan energi anak, imbuhnya, juga bisa dilakukan dengan memperbanyak aktivitas fisik yang melibatkan anak sekaligus memberi peran anak, seperti masak bersama, membersihkan rumah, atau berolahraga bareng.
Kepala DP3AP2KB Jateng Retno Sudewi mengatakan, sasaran Jo Kawin Bocah terutama adalah kelompok rentan. Di antaranya, keluarga miskin, berpendidikan rendah, masyarakat pedesaan, remaja, dan anak dengan orang tua tunggal.
“Pernikahan anak menghambat hak anak dalam belajar, hak anak dalam kesehatan, psikis dan kekerasan anak tinggi sekali pada kasus menikah di usia anak,” pungkas Dewi. (*)