3.142 Anak di Semarang Alami Stunting, Kecamatan Semarang Utara Paling Tinggi

  • Bagikan
Balita akan ditimbang dan diukur tingginya untuk memastikan telah menerima cukup gizi dalam pertumbuhannya. (NURCHAMIM/JAWA POS RADAR SEMARANG)

SEMARANG, RAKYATJATENG – Angka kekurangan gizi pada anak atau stunting di Kota Semarang ternyata masih sangat tinggi.

Dari data yang dimiliki Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Disdalduk KB) Kota Semarang mencatat ada 3 ribuan anak yang masih menderita stunting.

Status gizi buruk pada ibu hamil dan bayi merupakan faktor utama yang menyebabkan anak balita mengalami stunting. Begitu pula setelah lahir, 1.000 hari pertama kehiduan (0-2 tahun) adalah waktu yang sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.

“Kasus ini terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua untuk memenuhi gizi anak sejak dalam kandungan, dan sampai usia emas,” kata Kepala Disdalduk KB Kota Semarang Gurun Risyadmoko, dikutip dari Jawa Pos Radar Semarang.

Dari data yang dimiliki Gurun, tahun ini masih ada 3.142 anak yang menderita stunting dari jumlah balita yang ada di angka 97.194 anak.

Kecamatan Semarang Utara menjadi wilayah penyumbang angka stunting yang paling tinggi, yakni 633 anak.

Disusul dengan Kecamatan Banyumanik 330 anak, serta Kecamatan Pedurungan 314 anak.

Wilayah dengan angka stunting paling rendah ada di Kecamatan Gayamsari dengan jumlah 43 anak, disusul Kecamatan Tugu 60 anak, Semarang Tengah 87 anak, dan Kecamatan Gajahmungkur 89 anak, serta Kecamatan Candisari 43 anak.

Gurun menjelaskan, faktor lainnya adalah tingginya angka pernikahan dini juga menjadi pemicu terjadinya kasus ini. Meskipun di angka 3 ribuan, angka ini bisa dibilang kecil dibandingkan jumlah penduduk di Kota Semarang.

“Usia di bawah 21 tahun misalnya, kalau menikah secara reproduksi belum siap, bisa juga secara ekonomi yang belum mapan, sehingga gizi dan pola asuhnya terbaikan,” bebernya.

Disdalduk, kata dia, terus menurunkan angka stunting di Semarang, pada 2021 ini misalnya targetnya angka stunting bisa turun sampai 2,7 persen dari jumlah kasus yang ada.

Gurun juga membentuk tim Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

“Ada 49 PLKB, untuk stunting ini selain dari petugas kita, juga ada peran dari Posyandu, PKK, DP3A, Bidan dan Dinkes untuk memberikan pemahanan dan pemenuhan gizi ibu hamil,” tuturnya.

Sementara dari data yang dimiliki Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, angka stunting Kota Semarang pada 2020 meningkat dibanding 2029. Persentase stunting sebanyak 2,5 persen.

Sedangkan 2020 mencapai 3,13 persen. Sebanyak 3.143 balita mengalami stunting dari jumlah total balita di Kota Semarang 100.446 anak.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat DKK Semarang Endah Emayanti menyatakan, meski angka stunting di Kota Semarang cenderung lebih kecil tahun ini, DKK Semarang fokus penanganan stunting di 25 kelurahan dengan persentase tertinggi.

“Kasus tertinggi ada di Kelurahan Polaman, Kecamatan Mijen 14,68 persen atau 16 dari 109 balita mengalami stunting. Setelah itu, disusul Kelurahan Pleburan 14,43 persen atau 14 dari 97 balita mengalami stunting,” bebernya.

Angka stunting terendah dari ke-25 itu adalah Kelurahan Panggung Kidul, Kecamatan Semarang Utara dengan persentase 6,87 persen, atau 32 dari 466 balita di wilayah tersebut mengalami stunting.

Dari sisi pencegahan, pelayanan kesehatan pranikah sampai anak masuk sekolah dilakukan oleh DKK. Misalnya, pembekalan kepada calon pengantin, serta program Catin (calon pengantin) Bugar Produktif Menuju Keluarga Idaman (Tugu Muda).

Program pendampingan juga diberikan kepada ibu hamil agar anga stunting ini bisa terus ditekan.

“Tumbuh kembang anak juga dipantau saat ada di Posyandu. Kita pastikan gizi cukup, sehingga kalau terdeteksi bisa ditangani dengan baik,” katanya.

Dijelaskan, sebelum menikah, catin diwajibkan mengikuti dua kali pembekalan dari empat pihak. Yakni, puskesmas, Kantor Urusan Agama (KUA), Disdalduk, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).

Dalam pengadaan acara, pihaknya bekerja sama dengan KUA. Dari situlah catin mendapat bekal cukup, khususnya dalam pemenuhan gizi bagi keduanya. Upaya tersebut dinilai cukup untuk meminimalkan lahirnya anak yang mengalami stunting.

Selanjutnya DKK Semarang memiliki program pendampingan selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) bagi ibu hamil. Selama itu, perkembangan janin dan kebutuhan gizi akan terus dicek.

Lalu jelang hari kelahiran masuk program Rawat Ibu Bersalin (Raisa). Mulai dari fasilitas melahirkan secara gratis sampai pemberian ASI eksklusif. Pasca melahirkan, ibu dan bayi akan diberi pendampingan dari nakes (tenaga kesehatan).

Saat balita, tumbuh kembang anak akan dipantau di Posyandu. Setiap cek kesehatan bayi akan ditimbang dan diukur tingginya. Memastikan bahwa sang bayi menerima cukup gizi dalam pertumbuhannya.

Saat ini, kader kesehatan bila langsung menginput data kesehatan balita saat periksa di posyandu ke aplikasi E-PPBGM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).

Dengan begitu, DKK dapat memantau secara langsung titik tertentu yang perlu lebih diperhatikan.

“Kami cukup ketat di Posyandu. Deteksi stunting itu idealnya sebelum balita berusia dua tahun agar bisa segera ditangani dan normal seperti anak lainnya. Tapi kalau setelah dua tahun itu ya bisa dibilang cukup sulit,” imbuh Endah.

Menurutnya, masalah awal terdapat pada pola asuh keluarga. Kebiasaan konsumsi makanan sehari-hari mempengaruhi tumbuh kembang remaja yang berdampak hingga dewasa. Apalagi saat ini anak-anak lebih akrab dengan junk food dan fast food ketimbang sayuran dan buah.

Selain itu, masalah kebanyakan anak muda hari ini adalah pola diet yang tidak sehat. Tak sedikit anak muda ingin bentuk tubuh ideal yang melakukan diet ekstrem. Karena konsumsi makanan berkurang drastis dan kebutuhan gizi tak terpenuhi, justru berisiko melahirkan penyakit baru.

Di samping itu, lanjut dia, kebersihan lingkungan dan sanitasi menjadi faktor penentu yang tak kalah penting. Bila lingkungan tempat hidup tak bersih, maka sulit untuk anak-anak tumbuh sehat dan produktif. Bagi Endah, masalah stunting hakekatnya bukan milik DKK saja. Namun tanggung jawab bersama semua pihak maupun individu. (den/cr1/aro/JPC)

  • Bagikan