SOLO, RAKYATJATENG - Cobaan berat menerpa pasangan suami-istri (pasutri) Heri Widodo, 35, dan Tri Haryati, 29. Anak ketiganya Evano Farzan Faeza, 2, mengidap kanker mata ganas. Hasil pemeriksaan medis, diduga Evano karena kelainan genetik.
MANNISA ELFIRA, Solo
Tangisan keras terdengar dari dalam rumah bercat biru di kawasan permukiman padat di Kampung Bibis Wetan RT 05 RW 21, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Jumat (26/3).
Rupanya, Vano (sapaan akrab Evano Farzan Faeza) minta diambilkan mainan. Tangisnya baru mereda setelah aneka mainan menghias karpet di ruang keluarga. Dengan riang, bocah kelahiran 9 Maret 2019 ini bermain mobil-mobilan.
“Sejak tujuh bulan terakhir Vano bolak-balik ke rumah sakit. Karena sering melihat perawat di rumah sakit pakai masker, dia agak sedikit takut. Makanya sering menangis kalau ada tamu datang pakai masker,” ucap Tri Haryati, ibunda Vano, dikutip dari Jawa Pos Radar Solo.
Saat masih dalam kandungan, ada kekhawatiran di benak kedua orang tua Vano. Maklum, Tri Haryati juga mengidap kanker mata. Bahkan, pasutri ini pernah kehilangan anak kedua karena penyakit yang sama.
“Padahal waktu lahir Vano normal. Tidak muncul kelainan sama sekali. Bayinya lucu,” imbuh Tri.
Vano pertama kali di bawa ke rumah sakit saat usianya menginjak 1-2 bulan. Namun, waktu itu pihak rumah sakit belum bisa mendeteksi apakah ada indikasi mengarah ke penyakit kanker mata atau tidak.
“Sejak bayi, ASI saya tidak keluar. Memang imunnya sudah rendah dan kurang gizi. Dulu waktu bayi, pernah konsumsi susu formula. Namun tidak lama. Malah maunya minum teh saja,” terangnya.
Setelah menginjak usia 3 bulan, kekhawatiran pasutri tersebut jadi kenyataan. Hasil pemeriksaan medis, Vano divonis dokter mengidap kanker mata.
“Awalnya mata kanan Vano terlihat seperti mata kucing saat terkena cahaya. Sebenarnya dokter sudah sarankan untuk operasi dan kemoterapi. Tapi saya tidak sampai hati. Saya langsung beri Vano obat alternatif. Supaya matanya tidak membengkak,” beber Tri.
Setelah diberi obat, mata Vano yang bengkak perlahan mengecil. Namun, lama-kelamaan Vano menolak mengonsumsi obat tersebut. Karena rasanya pahit dan bikin susah makan.
“Setelah tidak mau minum obat, matanya kembali bengkak. Bagian mata yang putih berubah jadi merah dan berurat. Sering keluar darah juga,” katanya.
Tak tega melihat kondisi Vano, pasutri ini melarikan buah hatinya ke RS Mata Dr YAP Jogjakarta. Kemudian dirujuk ke RSUP Dr Sardjito Jogjakarta. Di sana, Vano dikemo lima kali. Setelah bengkak di mata mengecil, disusul operasi pertama. Yakni pengangkatan bola mata, November 2020.
“Setelah itu operasi pemasangan bola mata palsu. Tapi bola mata palsu tersebut copot saat saya bersihkan. Anak saya harus operasi penambahan lemak dan pemasangan bola mata palsu lagi. Tapi sebelumnya itu, harus dikemo 105 kali. Rencananya akan dikemo tiap minggu jika tekanan darahnya baik,” ungkapnya.
Cobaan demi cobaan tak berhenti. Kemo kadang tidak berjalan mulus. Sebab, tekanan darah Vano sering kurang stabil. Alhasil, beberapa kali harus balik ke Solo. Sejauh ini, seluruh biaya pengobatan ditanggung BPJS Kesehatan.
“Justru habis uang banyak itu pas wira-wiri (bolak-balik). Sekitar Rp 600 ribu sekali jalan. Buat makan, naik KRL PP (pulang-pergi), dan ojek online. Saya sampai harus berhenti kerja jadi sales makanan ringan supaya bisa temani istri dan Vano,” keluh sang ayah.
Sekali kemo, butuh waktu perawatan sekitar tiga hari. Efek sampingnya, rambut rontok, kulit melepuh, kuku menghitam, dan badan lemas. Disusul sariawan di mulut dan lidah. Ini yang sebabkan Vano susah makan.
“Ada luka di anus sehingga sering kesakitan saat buang air besar (BAB). Kondisinya sempat drop dengan suhu badan tinggi sampai 42 derajat celcius selama tiga minggu. Bulan ini, dia drop parah. Habis 12 kantong trombosit, puluhan infus, dan 2,5 hemoglobin,” ujar Heri.
Saat dilakukan cek darah, tubuh Vano sempat menolak. Darahnya tidak keluar lewat lengan. Melainkan dari jari tangan. Juga sempat alami pendarahan hebat. Setelah pembuluh darah di hidung pecah.
“Hidungnya harus ditutup kapas panjang. Supaya darahnya masuk kembali ke tubuh. Lalu dikeluarkan lewat kotoran yang berwarna hitam,” kata Heri.
Lama kelamaan, imunitas tubuh Vano semakin rendah. Sama sekali tidak mengonsumsi makanan selama dirawat inap. Asupan gizi hanya didapat dari cairan infus. Sempat, Vano diberi selang makanan atau sonde selama sehari lewat hidung. Namun, darahnya malah keluar lagi dari hidung.
“Kami terus berusaha dan berdoa demi kesembuhan Vano. Karena kami yakin Vano bisa tumbuh seperti anak normal pada umumnya. Semoga saja ada uluran tangan untuk biaya pengobatan,” harapnya. (rs/ria/per/JPR/JPC)