Kisah Pasutri Asal Solo Merawat Buah Hati yang Idap Anencephaly

  • Bagikan
Syarifudin dan Ayu Endang merawat bayinya Muhammad Arkan di rumahnya, kemarin. (SILVESTER KURNIAWAN/RADAR SOLO)

SOLO, RAKYATJATENG - Pasangan suami istri Syarifudin Hidayatullah, 31, dan Ayu Endang Pujianti, 29, harus bersabar menerima ujian hidup. Anak keduanya yang lahir dua pekan lalu didiagnosa mengidap anencephaly atau lahir tanpa beberapa bagian otak dan tulang tengkorak. Seperti apa kondisinya?

SILVESTER K - MANNISA ELFIRA, Radar Solo

SUASANA kediaman Syarifudin dan Ayu Endang tampak sepi meski mereka tinggal di permukiman padat penduduk Kampung Sidorejo RT 01 RW 01, Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Begitu masuk ke dalam rumah, Syarifudin dan istrinya dengan telaten merawat sang anak, Muhammad Arkan Naufal Hidayatullah yang lahir pada 22 Februari lalu. Baru sepekan ini Arkan dirawat di rumah mereka yang sederhana. Sebelumnya selama sepekan, dia menjalani perawatan di rumah sakit.

Miris memang melihat bayi yang baru berusia dua pekan harus bertahan hidup dengan berbagai alat penopang hidup. Namun, Syarifudin dan Ayu sadar bahwa putra kedua mereka memang berbeda dengan bayi-bayi pada umumnya.

“Memang harus hati-hati dalam merawat. Anak kami ini lahir tanpa tempurung kepala. Istilah dokter anencephaly. Jadi kami harus seminimal mungkin memindahkan posisinya agar bagian kepala anak kami ini tetap aman,” jelas Ayu.

Bagian kepala yang terbuka itu kini dibalut dengan kain kasa dan wajib diganti secara hati-hati secara berkala. Beruntung, mereka masih mendapatkan bantuan dari rumah sakit terkait dan puskesmas terdekat. Secara berkala petugas medis datang mengontrol perkembangan Arkan.

“Memang benar kata orang kalau otak itu berkembang. Waktu lahir ukurannya masih kecil. Sekarang sudah berkembang lebih besar. Jadi harus sangat hati-hati karena kain yang lembut sekalipun bisa mencederai anak saya. Untung masih banyak yang membantu untuk merawat anak saya ini,” timpal Syarifudin.

Tantangan pasangan suami istri dalam merawat anak yang mengidap anencephaly bukan hanya pada perawatan kepala saja. Melainkan pada keseluruhan fisik si buah hati. Sebab, jika tidak dipantau dengan rutin, suhu tubuh Arkan bisa ngedrop atau naik. Ini bisa memicu kondisi darurat.

“Anak kami sedikit bermasalah dalam mengatur suhu tubuhnya. Jadi agar sedikit membantu, kami pasang lampu pijar di dekat keranjang bayinya. Itu pun harus dicek terus. Kalau kelamaan suhu tubuh anak saya bisa meningkat. Tapi kalau terlalu lama dimatikan, nanti bisa kedinginan. Paling tidak mirip inkubator di rumah sakit,” jelas Syarifudin.

Hal lain yang sangat penting untuk menopang kehidupan si jabang bayi adalah kemampuan menyerap oksigen. Karena keterbatasan itu, Arkan masih perlu ditobang dengan tabung oksigen yang alirannya langsung diselang ke bagian hidung si bayi.

Syarifudin dan Ayu harus memastikan tabung-tabung oksigen di rumah mereka itu tetap terisi untuk menunjang kehidupan buah hati mereka.

“Kami punya tiga tabung oksigen saat ini. Satu tabung pemberian dari seseorang, dua tabung lainnya saya sewa. Untuk isi ulang per tabung oksigen ukuran besar ini sekitar Rp 100 ribu per empat hari. Jadi memang pengeluarannya agak besar di tabung oksigennya,” ujar Syarifudin.

Pengeluaran lain yang tidak kalah besar adalah kebutuhan susu formula. Sejak lahir hingga saat ini, Arkan masih disarankan untuk mengonsumsi susu formula. Ini dilakukan agar si jabang bayi itu tidak harus berpindah-pindah posisi karena membahayakan kepalanya.

Susu formula ini menjadi satu-satunya asupan makanan yang saat ini bisa dikonsumsi bayi berjenis kelamin laki-laki itu. “Anak saya ini minum susu 20 cc per tiga jam. Satu kotak susu formula ukuran 350 gram itu habis dalan empat hari. Jadi memang banyak minunnya. Soalnya memang belum bisa diberi ASI (air susu ibu),” sambung Ayu.

Biaya kebutuhan untuk menopang kehidupan Arkan memang terbilang tinggi. Apalagi kondisi keluarga sedang terpuruk, mengingat Syarifudin baru saja berhenti bekerja karena harus membantu istrinya merawat si bayi.

Ekonomi mereka makin terasa berat mengingat Syarifudin selama ini yang menjadi tulang punggung keluarga. “Sebelum kelahiran anak kedua ini saya sudah berhenti kerja buruh mebel karena harus mengurus berbagai hal. Ini belum kerja lagi, tapi dalam waktu dekat saya harus mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan yang makin besar,” ujarnya.

Syarifudin dan istrinya bertekad untuk membesarkan si buah hati yang lahir dalam keadaan tidak sempurna ini. Keduanya sudah mempersiapkan diri menerima kenyataan ini karena sejak usia kandungan istrinya baru berumur 4 bulan, memang sudah diberitahu dokter. Lima dokter spesialis kandungan memberitahu jika kondisi janin kala itu mengidap sindrom anencephaly.

“Sindrom seperti ini memang termasuk kasus yang jarang ditemui di dunia medis dan belum ada jalan keluarnya seperti operasi maupun lainnya. Kami meminta doanya agar anak kami tetap sehat dan memiliki umur panjang,” tutur dia. (rs/ves/per/JPR/JPC)

  • Bagikan

Exit mobile version