SEMARANG, RAKYATJATENG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah menyatakan dari 35 daerah, terdapat 27 kabupaten di provinsi setempat yang rawan terjadi bencana tanah longsor. Pemerintah pun merekomendasikan hal penting untuk mengantisipasi bencana longsor.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Jateng Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian teknis terhadap tanah di sejumlah kabupaten rawan longsor.
“Daerah yang memiliki wilayah rawan gerakan tanah berjumlah 27 kabupaten,” kata Sujarwanto Dwiatmoko, saat ditemui di kantornya, Rabu (24/2/2021).
Kendati begitu, imbuhnya, dari 27 daerah itu tidak seluruhnya rawan longsor. Hanya, daerah perbukitan atau yang memiliki lereng. Dia mencontohkan, di Kabupaten Cilacap, rawan longsor ada di Majenang dan Cimanggu. Untuk Brebes ada di Salem dan Sirampog.
Ada juga Banyumas di Karanglewas. Juga di Kebumen di Karangsembung. Daerah lainnya ada di Purbalingga, Pemalang, Pekalongan, Tegal, Banjarnegara, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Magelang, Karanganyar, Wonogiri, Semarang, Kudus, Pati, hingga Rembang.
Sujarwanto menyebutkan, kerentanan longsor terjadi karena faktor geomorfologi meliputi sudut lereng, bentuk /tipe, relief. Semua daerah yang berlereng berpotensi bergerak turun. Semakin terjal akan tambah berpotensi. Meski diakui, longsor juga bisa terjadi di daerah datar.
Ditambahkan, faktor rawan longsor lainnya adalah jenis batuan dan struktur geologi. Jenis batulempung yang berkarakter mudah mengembang karena kadar air (swelling clay) sangat rentan longsor, Juga kalau ada zona patahan/sesar (fault) dan lapisan batuan yang sejajar lereng, memiliki kerentanan longsor. Faktor lainnya, kondisi klimatologi atau curah hujan, kondisi lingkungan/ tata guna lahan, serta faktor aktivitas manusia.
Pihaknya mengingatkan kabupaten atau kota untuk mewaspadai daerah yang rentan longsor. Apalagi dengan curah hujan yang tinggi.
“Di situlah kita me-warning sebagai upaya mitigasi paling awal. Maka wajib dibaca peta overlay antara kerentanan gerakan tanah dengan prakiraan hujan dari BMKG,” beber dia.
Dengan peta kerentanan gerakan tanah, beber Sujarwanto, masyarakat yang tinggal di lereng mesti memahami potensi rawan longsor. Selain itu juga diperlukan adanya pengetatan pemda, dalam memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di daerah lereng.
“Yang terpenting lain adalah harus bisa mengendalikan drainase lereng. Jadi kalau bisa diatur berapa jumlah yang boleh meresap, diatur yang boleh run off (aliran permukaan).
Kalau run off jangan sampai sampai mengerosi. Ya caranya kemudian membuat alur-alur, yang alurnya itu membuat air itu direct ke badan sungai. Jadi jangan sampai membiarkan air itu meresap terlalu banyak juga,” jelas Sujarwanto.
Dia membeberkan ciri yang mudah dikenali masyarakat sebagai antisipasi bencana tanah longsor. Yakni, hendaknya memilih lahan yang bagus atau jangan berlereng. Kalau milih berlereng hendaknya tidak ada lempung hitam.
“Tanah lempung hitam itu masalah. Kalau tanahnya padas, merah, oke, tanahnya bagus. Tapi tetap kendalikan karena lokasi berlereng diantisipasi dengan penataan airnya, dan pola tanaman dan pengelolaan lahannya. Kalau milih di daerah datar, boleh, tapi hindari daerah lempung hitam,” ujarnya.
Adapun cara mengenali longsor, tutur Sujarwanto, kalau saat hujan ternyata lebih banyak yang mengalir ke saluran dibandingkan yang meresap, berarti telah terjadi aliran permukaan. Ciri yang nampak lainnya, bila ada retak yang bergerak meski kecil haruslah segera ditutup agar retakan itu tidak terisi air dan tidak bertambah airnya.
“Lihat lagi, ada enggak kemunculan mata air tiba-tiba. Lho ora biasa metu air, metu air (tidak biasa keluar air, tapi keluar air). Tapi kalau sudah keluar mata air begitu, cara menghindarinya susah. Lebih baik minggir dulu. Kalau hujan sudah reda dan mata airnya sudah mati, besok dicek di atas lereng di mana ada retakan, di atas retakan atau tempat-tempat di mana ada air yang meresap ke dalam itu dipindahkan semua airnya,” terangnya.
Sujarwanto menuturkan untuk pemindahan air dari dalam tanah yang ada retakan, yaitu dengan menancapkan pipa lewat samping lereng. Supaya, air bisa keluar secara terarah.
“Tapi kalau sudah muncul mata air dan keruh, hampir pasti longsor. Maka hindari dululah,” ujarnya.
Dinas ESDM Jateng pun merekomendasikan, untuk penguatan lereng yakni dengan menanam vetiver (chrysopogon zizanioides). Rumput vetiver itu, menurutnya, memperkuat lereng yang tidak terlalu tinggi. Tujuannya adalah agar tanahnya tidak pelan-pelan geser-geser ke bawah.
“Tapi kalau tanah longsornya besar, enggak bisa juga. Rumput vertiver cocok untuk lereng-lereng yang tingginya tiga sampai empat meter, kemudian biar air terkendali. Di samping vertiver ditanam, juga pengendalian air yang merasuk di dalam lereng itu,” sambungnya.
Khusus di daerah lerengnya tinggi sesuai dengan tata guna lahan memanglah tidak boleh untuk permukiman. Maka dari itu, di titik itu mestinya diubah menjadi hutan kayu yang berakar kuat, atau bukan tanaman yang diolah semusim.
Contoh yang diolah semusim dan gagal di Kebumen yang berbatasan dengan Purworejo, adalah warga menanami lahan di pucuk bukit yang lerengnya terjal dengan tanaman empon-empon perdu, sedangkan pohon besarnya banyak dikurangi.
“Itu strategi untuk mitigasi.Tapi sekali lagi, nek durung (kalau belum) kejadian, masih enggak percaya. Lha itu, makanya ini terus kita kampanyekan, kita jelaskan ke publik agar publik menyikapi,” harap Sujarwanto. (*)