JAKARTA, RAKYATJATENG – Keputusan Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan yang menetapkan batasan tertinggi tarif rapid test sebesar Rp 150 ribu disambut komentar beragam oleh masyarakat.
Sebagian warga juga punya cerita dan pengalaman saat mereka mengikuti rapid test secara mandiri alias membayar sendiri. Tentu biaya di lapangan, sebelumnya, lebih dari Rp 150 ribu.
Salah satunya dialami Putri warga Jakarta Timur. Saat itu dia hendak pulang kampung ke Banyumas dan diwajibkan untuk ikut rapid test sebagai syarat keberangkatan. Dia dikenakan biaya Rp 350 ribu.
“Saya sebelum Lebaran ikut rapid test kena Rp 350 ribu di rumah sakit khusus THT di Jakarta Pusat,” katanya kepada JawaPos.com, Rabu (9/7).
Pengalaman lainnya diceritakan oleh warga Pademangan, Jakarta Utara, Indah Fajar. Awalnya suaminya ikut rapid test di kantornya di perusahaan otomotif dan dibiayai kantor. Hasilnya non reaktif. Namun Indah yang berprofesi sebagai dosen, akhirnya bernisiatif menguji kesehatannya dengan rapid test.
“Karena Pademangan itu zona merah, saya berinisiatif tes. Dan saya cari-cari di aplikasi kesehatan ada yang paling murah dan iklannya gratis. Tapi ternyata saat datang ke wilayah Pulo Mas untuk tes tetap bayar dikenakan biaya Rp 100 ribu untuk ganti APD. Menurut saya enggak apa-apa itu sudah yang termurah, karena rata-rata bisa Rp 299 ribu sampai Rp 499 ribu tergantung paketnya. Ada yang sampai foto toraks segala,” jelasnya.
Setelah dites, Indah pun dinyatakan reaktif. Dia makin bingung saat itu karena tes swab PCR secara mandiri bisa sampai Rp 2 jutaan. Alhasil dia datang ke Puskesmas dan seluruh keluarganya dites swab PCR sebanyak 1 KK hingga 2 kali. Dan beruntung hasilnya negatif.
“Karena gara-gara rapid test memang bikin pusing ya. Sampai sempat dikucilkan warga dan harus isolasi mandiri. Dengan harga sekarang Rp 150 ribu, menurut saya sih semestinya gratis ya karena kan ini sudah tanggap darurat ya. Yang gratis pun menolak kok untuk di-rapid,” tukas Indah.
“Sebab sekali sudah di-rapid kayak bayar terus dan terus, jadi kayak bisnis,” imbuhnya.
Pengalaman serupa juga dialami Eva, warga Jakarta Selatan. Dirinya mengikuti rapid test saat pulang dari Palembang ke Jakarta pada 27 Juni. Saat itu motivasinya untuk ikut rapid test hanya karena sekadar memenuhi syarat administrasi dalam penerbangan.
“Motivasinya hanya demi keperluan administrasi saja untuk terbang dari Palembang ke Jakarta di bandara. Saat itu saya bayar Rp 280 ribu di bandara,” ujar Eva.
Sebelum membeli tiket pun dia mencari informasi dulu berapa biaya rapid test di Palembang. Rata-rata bisa Rp 450 ribu. Dan melihat harga di bandara yang jauh lebih miring, Eva akhirnya memutuskan ikut rapid test di bandara.
“Dengan adanya tarif Rp 150 ribu yang baru oleh Kemenkes menurut saya sih baik ya. Artinya sudah dilakukan pemerataan harga. Ya bisa lebih murah kan,” jelasnya.
Meski begitu, menurut Eva, rapid test masih belum jelas tujuan dan efektivitasnya. Pasalnya rapid test juga tak bisa memberikan hasil yang akurat dan harus dilanjutkan dengan PCR. Selain itu, jika sudah di-rapid test sekali, tak menjamin tak akan terinfeksi Covid-19 di setiap detik perjalanan.
“Ini tujuannya apa, sebagai orang awam rapid test ini saya penuhi hanya untuk administrasi saat itu. Ini tuh buat apa, di balik ini ada apa? Masyarakat juga harus antre, butuh waktu. Dan setelah rapid pun saat saya dari bandara naik taksi online ke rumah, belum tentu juga kan saya enggak tertular Covid-19. Lalu untuk apa?” imbuh Eva.
Sebelumnya Kemenkes mengeluarkan surat edaran soal tarif pemeriksaan rapid test tertinggi sebesar Rp 150 ribu. Penetapan tarif tersebut berlaku mulai tanggal 6 Juli 2020. Rapid test menjadi salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi terinfeksi Covid-19 atau tidak dalam tubuh manusia. Pemeriksaan rapid test hanya merupakan penapisan awal.
Selanjutnya, hasil pemeriksaannya harus tetap dikonfirmasi melalui pemeriksaan PCR. Pemeriksaan rapid test bisa dilakukan di fasilitias pelayanan kesehatan atau di luar itu selama dilakukan oleh tenaga kesehatan.
“Harga yang bervariasi untuk melakukan pemeriksaan rapid test menimbulkan kebingungan di masyarakat. Maka dari itu Kementerian Kesehatan telah menetapkan batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test,” kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan dr. Bambang Wibowo, dalam keterangan tetulis, Selasa (7/7).
Kementerian Kesehatan telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi, serta ketua organisasi bidang kesehatan di seluruh Indonesia mengenai batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test.
Dalam surat edaran tersebut diinstruksikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pemeriksaan rapid test untuk membatasi tarif pemeriksaan maksimal Rp 150 ribu. Bambang mengatakan besaran tarif tersebut berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test atas permintaan sendiri. Selain itu pemeriksaan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
“Pemeriksaan rapid test harus dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan,” jelasnya. (JPC)