==========================
Oleh: Sukriansyah S. Latief
Wartawan Senior Harian FAJAR
==========================
IKLAN sebagai ‘gizi’ terbitnya media cetak, kini semakin berkurang, sementara biaya cetak dan operasional meningkat. Media cetak pun makin kurus alias menipis, atau bahkan mengecil. Setiap minggu, ada saja media yang memberhentikan karyawannya, atau kalau tetap mau bertahan, mesti siap menerima pengurangan gaji. Berbagai kiat dilakukan media cetak untuk bisa bertahan terbit, mesti tidak menjamin akan tetap terbit. Kondisi ini tentunya sangat ironis, bila kita melihat betapa jayanya media cetak Amerika, beberapa tahun lampau. Coba kita lihat saja apa yang dialami Koran St Louis Post-Dispatch, yang terbit di Saint Louis, Texas. Koran yang ada sejak 1878 itu, dalam 3 bulan ini saja telah kehilangan 60 karyawan, baik yang dikeluarkan atau yang mengundurkan diri. ”Mereka itu ada yang wartawan dan staf,” kata Jeremy Kohler, 36 tahun, yang 15 tahun menjadi wartawan, dan 10 tahun bekerja di St. LP-D. Saat ini, di koran yang beroplah 275.000 pada hari biasa dan 475.000 pada hari Minggu itu, ada sekitar 400 karyawan, di antaranya 60 wartawan lapangan dan 20 redaktur. Oplah yang ada saat ini jauh lebih kurang dibanding oplah tahun lalu, dan kini terbit kadang hanya 28 atau 32 halaman pada hari Senin-Sabtu, walau pada hari Minggu bisa 2 kali lipat. Menghadap krisis ini, lanjut Jeremy, pihaknya mengurangi jumlah kantor perwakilan di daerah, mengurangi biaya langganan jaringan networking, dan juga biaya-biaya perjalanan. ”Ya, termasuk tentunya biaya investigative reporting. Jadinya yang penting-penting dan besar saja,” kata Jeremy yang telah sekiatr 5 tahun menjadi jurnalis investigator. Dia juga tercatat sebagai anggota Investigative Reporters and Editors, Inc (IRE) dan Society of Professional Journalists (SPJ). Rekan Jeremy yang lain, Patrick Gauen, 58 tahun, menambahkan, pihaknya kini terus mengembangkan media online St LP-D yang sudah hampir berusia 10 tahun. Saat ini, kata Gauen, media online semakin mendapat tempat di masyarakat yang semakin modern. ”Penghasilan dari online sekitar 8 persen dari jumlah penghasilan Saint Louis” jelas Gauen, tanpa mau menyebut nilainya. Menurut wartawan yang telah bekerja 24 tahun di St LP-D itu, dulunya mereka juga punya televisi, tapi telah dijual sekitar 15 atau 20 tahun lalu. Sama dengan St LP-D, Harian The San Fransisco Chronicle (The Chronicle), di San Fransisco, California, juga mengalami hal yang serupa. Menurut John Wildermuth, staf writer yang juga wartawan senior di The Chronicle, sejumlah biro di daerah kini telah ditutup, seperti di Sakramento. ”Jumlah karyawan juga dikurangi, ada yang diberhentikan, ada juga yang dipensiun secara dini,” kata Wildermuth. ”Yang tinggal, ada yang dikurangi gajinya, tapi sebelumnya harus dengan negosiasi melalui serikat pekerja,” tambah jurnalis yang telah berumur 57 tahun ini. Untuk mengurangi biaya operasional, pihaknya juga melakukan seleksi terhadap kasus-kasus yang akan diinvestigasi. ”Dulu wartawan investigasi ada 5, sekarang tinggal 2, biayanya besar sekali,” katanya, lalu menambahkan, dulunya mereka juga mempunyai televisi, namun telah dijual pada 2000. Untuk mengurangi biaya cetak, kata Wildermuth, jumlah halaman juga dikurangi bila pada hari itu iklan kurang. Pada hari Senin, Selasa, dan Sabtu, halaman dikurangi, tapi pada hari Rabu, Kamis, Jumat Minggu, bisa sampai 42 ditambah beberapa halaman ukuran kecil. Tapi untuk lebih efisien, pencetakan koran akan diberikan kepada perusahaan lain, sementara mesin cetaknya akan dijual. ”Karena ini kan mengurangi biaya, bila memakai percetakan outsourcing,” kata Wildermuth. Hal ini akan dilakukan sekitar 4 bulan lagi, dengan melakukan kerjasama percetakan dari Kanada. Dulunya, mereka mempunyai 4 mesin cetak, tapi kini tinggal satu, itu pun mau dijual. Menurut Steve Proctor, Managing Editor The Chronicle, tirasnya kini turun hingga 20 persen, dan kini sisa 325 ribu eksemplar. Kerugian tiap tahun sekitar 50 juta dolar setahun, yang sudah berlangsung hampir empat tahun. Jumlah karyawan dikurangi, dulunya sekitar 500, kini tinggal 300-an, di redaksi misalnya, dulu penyunting 50 orang, kini sisa 40 orang. ”Tidak ada orang yang kerja di media cetak di Amerika saat ini yang merasa aman,” ungkap Proctor. Turunnya jumlah tiras juga dialami The Texan Daily, koran kampus Univeristas Texas yang beredar umum di kota Austin. Menurut Leah Finnegan, Pemimpin Redaksi, yang didampingi Vikram, Redaktur Pelaksana, kini tirasnya tinggal 15 ribu, yang dulunya 20 ribu eksemplar. Koran yang terbit Senin sampai Jumat itu dibagi gratis ke mahasiswa dan umum di kota Austin, Texas. Koran yang dibiayai dari iklan dan mahasiswa melalui pungutan dalam uang kuliah, itu sudah ada sejak tahun 1900. Namun biaya operasional dan cetak yang semakin besar, kata Leah, pihaknya akan menjual mesin cetaknya. ”Kami akan mencetak di luar saja, lebih murah. Kami mau outsourcing,” aku Leah, 21 tahun, yang Mei nanti akan diwisuda dan berarti berakhir pula masa jabatan Pemrednya. Hal sama terjadi pada Koran The Columbia Missourian, koran kampus Universitas Missouri yang terbit di Missouri. Koran yang ada sejak 1908 dan terbit selama 6 hari selama seminggu itu rugi ratusan ribu dolar per bulan. Menurut Profesor Fritz Cropp, koran kampus ini dijadikan tempat belajar bagi mahasiswa sehingga tidak masalah bila rugi. Memang, Universitas Missouri adalah universitas jurnalistik yang tertua di dunia. Soal turunnya tiras koran, pihaknya kini sedang meneliti tentang kurangnya minat baca koran di kalangan generasi muda. Tekanan ekonomi terhadap media juga dirasakan Ray Hartmann, CEO St Louis Magazine. Menurutnya, masa depan media cetak tidak jelas, tergantung bagaimana media cetak bisa menghadapi online dan televisi. ”Orang kini lebih suka pasang iklan jual mobil atau rumah di online,” kata Hartmann. Namun begitu, dia tetap yakin media cetak tetap akan eksis sepanjang dia bisa mengikuti perkembangan teknologi. ”Penurunan oplah itu tidak hanya di Amerika, tapi juga di negara lain, di Inggris misalnya,” kata Hartmann. Namun begitu, bagi perusahaannya, media cetak majalah kota dan gaya hidup tidaklah terlalu merasakan masa sulit saat ini. Kiera Butler, asisten editor dari Mother Jones Magazine di San Fransisco, juga mengaku tidak terlalu terpengaruh dengan krisis, karena penerbitan majalah dwibulanan itu dibiaya oleh yayasan progres nasional. Majalah dengan tiras 240 ribu itu banyak melakukan investiasi reporting dan tidak mencari untung, dengan memfokuskan diri menulis untuk kepentingan masyarakat. ”Tapi kita tetap harus efisien,” tambah Hartmann, yang hanya mempunyai 6 wartawan, di media yang punya 42 ribu langganan itu. Sebenarnya, di televisi juga merasakan dampak resesi ekonomi ini, tapi tidak sebesar media cetak. Hal ini diakui Kathy Hadlock, Special Projects Producer, di KVUE Austin TV, Texas. Menurutnya, karena krisis ekonomi ini pendapatan iklan ikut berkurang, termasuk iklan mobil. Untuk itu, biaya operasional dikurangi, termasuk untuk biaya investigative reporting,” akunya. Ditambahkan, saat ini kalau ada karyawan yang keluar, maka pihaknya tidak akan mengganti atau menambah karyawan lagi. ”Sekarang m esti lebih hemat dan efisien, harus dikerjakan oleh karyawan yang ada saja,” kata Hadlock. KVUE TV yang merupakan TV lokal itu mengudara selama 24 jam, dengan jumlah awak redaksi sebanyak 47 orang. ”Saya punya dua anak, dan saya minta keduanya jangan jadi wartawan, masa depannya suram,” katanya bercanda. Sekaratnya bisnis media cetak di Amerika yang juga berarti liputan-liputan investigasi semakin berkurang, membuat seorang Sandler, pengusaha simpan pinjam, membentuk semacam Lembaga Kantor Berita untuk Liputan-liputan Investigasi yang dimuat di Webb Online dan bisa diakses media cetak maupun elektronik tanpa harus meminta izin untuk memuatnya. Dana yang disiapkan untuk “Pro Publica’ yang berada di New York itu sekitar 10 juta dolar setahun, dengan mempekerjakan 28 wartawan dan redaktur dan 7 staf administrasi, mereka merupakan orang pilihan dari 1000 orang yang melamar. Menurut Mike, Humas Pro Publica, sejak krisis keuangan di Amerika, sekitar 20 ribu lapangan pekerjaan dikurangi. Hal ini juga melanda media di Amerika, termasuk media cetak. ”Akibatnya semakin kurang berita-berita investigasi. Makanya kami hadir untuk memberikan laporan-laporan investigasi, seperti kasus penyiksaan tahanan di Guantanamo,” jelas Mike, yang lulusan Universitas Ohio ini. Sebelum Pro Publica, sebelumnya telah ada Freedom Forum dan Center for Public Integrity, yang telah lebih dulu mengembangkan kebebasan pers dan berita-berita investigative reporting. Agaknya, masih ada harapan bagi jurnalis investigator di Amerika, meski media cetak tak lagi memberi banyak harapan. (fajar)