Belajar dari Alwi Hamu, Lelaki Bugis yang Tak Malu Mengepel Lantai
FAJAR.CO.ID - Dahulu, bicara Alwi Hamu berarti bicara tentang FAJAR dan anak grupnya. Kini, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 28 Juli 1944 silam, seolah tanpa batas untuk segala hal.
Alwi yang berusia 73 tahun ini, masih bersemangat bekerja dan berpikir apa saja demi masyarakat dan kemajuan bangsa. Kepemimpinan yang patut diteladani, sekaligus menginspirasi.
Kehidupan masa kecilnya diasah oleh nilai-nilai kearifan lokal. Lingkungan keluarga mendidiknya untuk selalu jujur. Sang orang tua, Haji Muhammad Syata dan Ramlah, memberi Alwi kecil tanggung jawab menjual di toko kelontongan.
Kejujuran semakin tertanam dalam kehidupan Alwi setelah tinggal bersama kakek yang imam masjid. Di sinilah ilmu agama diperdalam. Tak heran, kejujuran dan sisi agama itu terus subur dan mendasari segala aktivitas Alwi.
Keseharian Alwi ditempa dengan nilai-nilai kesederhanaan dan ketelatenan. Sebagai laki-laki, Alwi kecil tak malu-malu mengepel lantai hingga 700 meter per segi, padahal pekerjaan seperti itu lebih banyak dilakukan anak perempuan pada masa itu.
Berkat didikan semacam itu, Alwi tumbuh sebagai sosok multitalenta. Ia terus tumbuh seperti rumpun bambu, semakin ditebang semakin subur. Dedikasinya terus memberi banyak manfaat terhadap lingkungan sosial.
Dalam usianya yang terus bertambah, ia tak pernah berhenti berinovasi. Selain memimpin PT Media Fajar dengan lebih 30 media (cetak dan elektronik), Alwi juga menakhodai puluhan perusahaan non-media lainnya. Perusahaan media dan non-media itu tersebar ke Indonesia Timur. Sebagian pula di Jakarta.
Sedikitnya 50 perusahaan yang dirintis, telah memberi manfaat bagi dunia bisnis dan medan sosial lainnya. Bendera-bendera perusahaan yang dikibarkan itu dibangun dengan pondasi idealisme yang kukuh. Tak heran jika ada yayasan yang dikembangkan semata-mata mengurusi masalah kemanusiaan. Selain membantu korban-korban bencana, juga ada klinik kesehatan gratis.
Universitas Fajar yang kini terus berkibar, bahkan didirikan dengan semangat idealisme terhadap kondisi pendidikan sekarang, yang terkikis dari idealisme kemahasiswaan, yang kerap jauh dari semangat belajar, yang terkesan lepas dari dinamika sosial dan teknologi, yang kerap menggadai idealisme di meja-meja kapitalisme.
Di tengah kondisi itu, Alwi menggedor pintu pendidikan global yang bervisi-misi entrepreneur. Mahasiswa digenjot belajar teori, tetapi terus dibangunkan oleh wawasan global terhadap dunia kerja. Mahasiswa diberi jaminan prestasi dalam bentuk beasiswa belajar.
Mereka yang tergolong keluarga tidak mampu, mendapat peluang belajar gratis tanpa memandangnya dari latar belakang agama dan suku.
Alwi memang sosok yang menjunjung tinggi multikulturalisme. Ia menempatkan perbedaan-perbedaan kultural itu sebagai suatu modal untuk lebih maju dan berkembang.
Alwi pun selalu bervisi global. Berkat visi global itu, Alwi di kalangan warga Keturunan di Kawasan Timur Indonesia dikenal sebagai Tokoh Perintis dan pemersatu pelbagai etnis di Indonesia. Banyak bentuk nyata telah Alwi lakukan, antara lain menyiapkan halaman tentang berita-berita aktivitas kehidupan masyarakat Tionghoa di pelbagai surat kabarnya.
Pada 1989, Alwi bahkan mendatangkan kelompok atraksi Whu Han. Pertunjukan ini berlangsung lama di Balai Kemanunggalan ABRI-RAKYAT (sekarang gedung Jenderal M Jusuf).
Pada masa Orde Baru, kurang lebih 35 tahun Kebudayaan Tionghoa kurang mendapat fasilitas dari pemerintah Indonesia. Termasuk tidak mengizinkan pertunjukan barongsai. Namun, pada 1992, Alwi justru memberi kejutan. Dengan sangat berani, ia menyelenggarakan pertunjukan barongsai dan atraksi naga di Sulawesi Selatan.
Kedekatan Alwi dengan warga Keturunan semakin besar setelah menerbitkan surat kabar di Hong Kong. Sebagian besar berisikan informasi tentang kerukunan masyarakat Indonesia-Tionghoa. Sejumlah warga keturunan yang sangat besar jasanya mendampingi Alwi. Mereka setiap saat banyak berdiskusi tentang perkembangan warga keturunan.
Modal kemampuan komunikasi dan idealisme Alwi yang membuatnya sukses menjalin pergaulan multikultaralisme itu. Keteguhan idealisme Alwi paling tampak di sektor media.
Sebelum mendirikan FAJAR pada 1 Oktober 1981, Alwi menginjak remaja memang aktif di media massa. Masih duduk di bangku SMP, ia sudah menerbitkan majalah stensilan. Di SMA juga demikian. Bahkan ketika mahasiswa, selain memprakarsai Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia, ia mendirikan “Surat Kabar Umum KAMI” pada 1966. Selanjutnya, Alwi mendirikan majalah Intim, menyusul bergabung dengan Tegas.
Alwi tercatat Sekjen Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia wilayah Sulselra pada saat gencar-gencarnya perjuangan mahasiswa melawan arus orde lama. Di jalur perjuangan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Alwi salah seorang yang mempertahankan Markas HMI di Botolempangan, Makassar yang kini menjadi simbol perjuangan-perjuangan HMI.
Dari tangan Alwi, lahir pula buletin “IDJO itam BERDJUANG” (Hijau Hitam Berjuang). Ini salah satu “tanda kreativitas” Alwi dalam sejarah HMI. Buletin ini juga mencerminkan tiga kreativitas Alwi sebagai cikal bakal talentanya memenej media.
Pertama, ia mampu mengumpulkan bahan dan tulisan dari para aktivis HMI waktu itu. Kedua, kemampuannya mengedit sebagai cerminan sosok jurnalis yang bukan sekadar tukang pengumpul informasi. Ketiga, kemampuannya mencarikan sponsor/iklan untuk menghidupi buletin tersebut.
Darah aktivis dan perjuangan idealisme jurnalistik yang terus membara, bahkan pernah “mengantar” Alwi divonis enam bulan penjara. Dinamika hidup Alwi yang penuh tantangan itu membuatnya semakin tegar dan bijak.
Saat ini, Alwi merupakan staf ahli Wapres RI, Jusuf Kalla. Dia banyak menyumbangkan gagasan inovatif. Tak ayal, Alwi terus menanamkan kepada segenap manajamen dan karyawannya untuk terus berinovasi tanpa melupakan idealisme.
Semangat kerja inovatif itulah yang membuat Alwi tak pernah diam. Padahal, dalam usia dan kondisi perusahaan seperti sekarang, Alwi bisa saja ongkang-ongkang kaki menikmatinya. Namun, itu jauh dari sosok Alwi. Ia bahkan selalu hadir di tengah-tengah karyawan untuk memberi spirit kerja.
Dari bibir kumis murah senyum itu, kalimat-kalimat inovatif terus mengalir. Ia membakar dada segenap karyawan seraya berujar, “Jangan pernah mau berhenti menombak langit. Sebab, di atas langit masih ada langit.”
Alwi mengumandangkan spirit itu sesungguhnya bukan untuk bisnis semata. Bukan pula untuk dirinya, melainkan untuk kehidupan sosial yang lebih baik dan lebih nyata. Bukan saja di Sulawesi Selatan, melainkan di Indonesia Timur. Oleh karena itu, ia mengembangkan jaringan melalui kemitraan nasional dan internasional.
Dari dunia internasional, Alwi dipercaya sebagai Konsulat Kehormatan Ceko untuk Kawasan Timur Indonesia. Bukan Alwi kalau tidak menelurkan gagasan brilian dalam persentuhannya dengan Ceko.
Suatu hari, ketika dubes Ceko hadir di Sulawesi Selatan, Alwi langsung memberi motivasi kepada para pengusaha. Di mata Alwi, kedatangan dubes Ceko harus dimanfaatkan.
“Jangan hanya Ceko yang membawa barangnya ke Sulsel, kita juga harus menyuplai barang ke sana,” kata Alwi kala itu.
Persentuhannya dengan dunia global, menggelitik Alwi menghadirkan pula media cetak di luar negeri. Selain di Hong Kong, lahir pula FAJAR AUSTRALIA dan RADAR TAIWAN. Masyarakat Indonesia di kedua negara itu terus menantikan edisi per edisi media ini.
Kalangan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Taiwan, bahkan seolah-olah menjadikan bacaan wajib RADAR TAIWAN. Media ini juga menjadi penghubung kegiatan perdagangan kedua negara. Beberapa rubriknya menjadi inspirasi bagi investor, baik dari Taiwan yang mau ke Indonesia, maupun sebaliknya.
Semua itu dijalani Alwi di tengah-tengah kesibukannya menjalankan amanah mengembangkan Jawa Pos. Ia dipercaya manajemen Jawa Pos untuk menjadi salah satu pimpinan di media yang dirintis Dahlan Iskan.
Di tengah kesibukan yang superpadat, Alwi masih memikirkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di Sulawesi Selatan. Pihak pemerintah di Luwu meminta Alwi membangun pabrik kelapa sawit untuk mengantisipasi produksi petani yang terus bertambah. Ketika masyarakat juga semakin membutuhkan pengadaan semen, Alwi tergerak untuk membangun pabrik semen di Barru.
Pada momen yang sama, Alwi masih memperhatikan kesulitan-kesulitan masyarakat di sektor kesehatan. Ia kini menyemangati kondisi sosial itu dengan membangun Rumah Sakit Bersalin di Makassar. Padahal, kebanyakan pikiran dan tenaga Alwi tersita untuk aktivitas perusahaan-perusahaan yang tersebar di kawasan Indonesia Timur.
Alwi memang telah menjadi milik masyarakat Indonesia Timur, bukan hanya milik FAJAR dan anak grupnya. Dan, ia pun tak pernah berhenti mewakafkan diri untuk itu. (tim-fajar)