JAKARTA, FAJAR – Mortalitas gagal ginjal akut pada anak sangat tinggi. Bahkan di atas 50 persen. Saat ini terdata sudah 133 pasien gagal ginjal akut yang meninggal dunia. Pemerintah siapkan antidotum.
Penyakit dengan nama lain Acute Kidney Injury (AKI) atau Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA) pada anak ini sangat mematikan. Makanya, mendapat atensi serius dari pemerintah.
Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Prof Keri Lestari mengungkapkan saat ini pemerintah menyediakan obat penawar alias antidotum. Langkah pemulihan menggunakan obat ini pernah dilakukan terhadap pasien-pasien AKI di Amerika Serikat pada era 1990.
Saat itu, ada anak-anak yang menjadi korban cemaran senyawa etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), atau EG monometil eter.
Upaya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) itu diharapkan dapat membuahkan hasil.
Selain melakukan pemulihan menggunakan antidotum, Kemenkes juga terus menyisir anak-anak yang terjangkit penyakit gagal ginjal akut. Dari pendataan terakhir, baru 22 provinsi yang disisir.
Totalnya, ditemukan 241 anak mayoritas usia di bawah 5 tahun (balita) yang teridentifikasi penyakit AKI. Sebanyak 133 di antaranya meninggal dunia.
Dokter anak punya peran penting untuk membantu pendataan. Khususnya pendataan di luar rumah sakit. ”Ini kami sedang sisir seluruh provinsi,” ujar Keri Lestari, dilansir Jawa Pos, kemarin.
Dokter anak punya peran penting untuk membantu pendataan. Khususnya pendataan di luar rumah sakit. ”Memang harus ada pendataan yang akurat dari dokter anak,” ungkapnya.
Bagi Gratis
Obat penawar (antidotum) akan diberikan gratis bagi pasien anak dengan gagal ginjal akut. Langkah ini untuk menekan laju kematian pasien.
Andidotum ini diimpor dari Singapura. Sejauh ini, khasiatnya cukup ampuh memulihkan anak-anak dari penyakit misterius tersebut.
Sudah ada studi penerapan.
”Biaya akan ditanggung Kementerian Kesehatan,” ujar Juru Bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril.
Antidotum itu sudah didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang merawat pasien acute kidney injury (AKI) tersebut. Seluruh biaya terkait antidotum itu gratis. Obat ini merupakan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sejauh ini, antidotum telah diberikan kepada anak-anak pengidap AKI yang dirawat di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dari laporan Kemenkes, kondisi anak yang mendapat obat penawar itu cenderung membaik.
”Ada perubahan yang bagus dari pasien (setelah diberi antidotum, Red). Mulai keluar air kencingnya, keadaannya juga membaik,” ungkap Syahril.
Meski begitu, Syahril menyebut, tak semua pasien AKI mengalami reaksi positif setelah diberi antidotum. Ada yang tidak mengalami perubahan setelah mendapat obat penawar.
Cemaran Sirop
Terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menegaskan, setiap produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi dalam negeri sudah mengikuti standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan memenuhi persyaratan mutu sesuai farmakope Indonesia atau kompendial lainnya.
’’Kasus ditemukannya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada obat sirup (sirop) merupakan kejadian yang tidak diharapkan oleh industri farmasi,” jelasnya.
Kemenperin terus mendorong perusahaan-perusahaan industri farmasi untuk memonitor dan mengevaluasi produk-produk yang dihasilkan. ’’Serta terus memantau perkembangan informasi dari kementerian dan lembaga terkait,” imbuhnya.
Dari hasil investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ditengarai kedua zat tersebut merupakan cemaran. Bukan bahan baku tambahan yang digunakan pada formulasi dan proses produksi obat sirop.
Cemaran itu diduga berasal dari empat bahan baku tambahan, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.
Empat bahan itu bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan sirup obat.
Bahkan telah digunakan sejak lama. Namun, baru dua yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Yaitu, sorbitol dengan kapasitas 154.000 ton per tahun dan gliserin sebesar 883.700 ton per tahun.
Propilen glikol dan polietilen glikol belum dapat diproduksi dalam negeri sehingga harus impor.
Kemenperin telah berkoordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman.
Pihak industri menyatakan bahwa tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi.
Karena itu, EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain yang disebutkan di atas.
Sebagai tindak lanjut, industri akan menguji kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen.
"Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu,” jelas Agus.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani mendesak pemerintah menaikkan status AKI menjadi kejadian luar biasa (KLB). Dengan begitu, penanganan bisa lebih optimal.
Pihaknya juga meminta dibentuk tim independen pencari fakta. Tim independen itu bertugas menelusuri lebih jauh penyebab gagal ginjal akut dan upaya surveilans ke daerah.
”Kami tahu Kemenkes bekerja, BPOM bekerja, tapi ini harus tertampung dalam satu tim. Ada IAI, IDAI yang harus terlibat di dalamnya,” ucapnya.
Tim itu diharapkan dapat menemukan fakta-fakta mengenai EG dan DEG yang melampaui ambang batas pada sejumlah merek obat. Di mana letak kesalahan yang terjadi, apakah saat produksi atau justru ketika sudah diedarkan. (fajar)