Sementara pertumbuhan ekonomi itu dihitung berdasarkan pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PNB) secara nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara lokal. Baik PNB maupun PDRB, minimal diukur dari sembilan sektor ekonomi.
“Sektor itu antara lain, pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, perhotelan, pariwisata, jasa keuangan, jasa konstruksi. Semuanya itu cukup tersedia di Sulsel,” katanya.
Kesembilan sektor tersebut diukur minimal berdasarkan harga konstan maupun harga pasar. Oleh sebab itu, bagi Sulsel resesi jauh, dikaitkan dengan inflasi apalagi.
Inflasi itu berarti terjadi kenaikan harga. Artinya tidak terjadi pertambahan volume produksi. Dengan adanya kenaikan harga, berarti nilainya sudah bertambah, apalagi kalau produksi naik.
“Beberapa bulan lalu pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah swasembada pangan,” terangnya.
Sejauh ini, di Sulsel ada pertumbuhan ekonomi. Makanya, potensi dunia yang akan ada resesi merupakan berkah, bukan musibah. Alasannya, semua kebutuhan dunia ada.
“Konsumennya juga 240 juta apalagi dibarengi dengan capital intellectual yang semakin berkembang,” ujar Sutarjo.
Sebenarnya, inflasi itu tidaklah buruk. Asal, jangan sampai hotinflation. Apabila ada inflasi yang dikendalikan oleh tim pengendali inflasi daerah (TPID), kenaikan harga barang akan terkendali.
Kalau terjadi peningkatan harga barang, ada gairah investor atau produsen meningkatkan produksi.
“Hal ini berarti terjadi peningkatan permintaan bahan baku dan kebutuhan tenaga kerja meningkat pula dan pengangguran berkurang,” terangnya.